Ada apa dibalik respon terapetik dan toksisitas…??? Sebuah pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang awam diluar angan dan bayangan, tetapi bagi seorang farmasis hal tersebut kiranya menjadi suatu hal yang patut untuk diperbincangkan dan dipelajari lebih lanjut. Suatu pergeseran paradigma farmasis yang semula drug oriented menjadi patient oriented sangat terkait dengan hal ini, seorang farmasis tidak hanya dituntut untuk memberikan suatu pertimbangan obat yang berefek baik tetapi juga aman bagi pasien.
RESPON TERAPETIK
Interaksi antara molekul obat dengan reseptor menyebabkan serangkaian reaksi molekuler yang menghasilkan respon farmakologis. Respon terapetik dipengaruhi oleh aktivitas farmakokinetik dan farmakodinamik dimana aktivitas farmakodinamik merupakan hubungan antara konsentrasi obat pada sisi aktif reseptor dan respon farmakologis, dimana respon farmakologis mencakup efek biokimia dan fisiologis yang mempengaruhi obat dan reseptor. Sedangkan aktivitas farmakokinetik menggambarkan proses yang dialami obat dalam tubuh yang meliputi adsorbs, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.
TOKSISITAS
Suatu obat dapat menimbulkan efek terapi apabila kadar obat dalam plasma masuk dalam rentang jendela terapi dan suatu obat dapat menjadi racun.
Seperti yang dapat dilihat pada grafik dosis vs konsentrasi plasma yang menggambarkan rentang jendela terapi jika konsentrasi obat dalam plasma dibawah jendela terapi maka obat tersebut tidak akan menimbulkan efek begitu pula sebaliknya jika konsentrasi obat dalam plasma melebihi daerah jendela terapi maka obat tersebut bersifat toksik.
RESPON TERAPI DAN TOKSISITAS
Keberhasilan terapi sangat tergantung pada pemilihan obat dan dosis yang digunakan. Pemberian dosis pada pasien harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Variasi profil farmakokinetik dan farmakodinamik pada tiap individu mengakibatkan pengaturan / pemberian dosis yang sesuai sulit untuk dilakukan. Penentuan dosis pada pasien dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu :
1. Aktivitas toksisitas
a. Jendela terapi
Banyak obat yang mempunyai jendela terapi luas, dalam artian selisih antara dosis toxic dan dosis efektif besar, tidak memerlukan regiment dosis tersendiri. Berdasarkan FDA (Food and Drug Administration), obat-obat ini digolongkan sebagai OTC (Over The Counter). Obat-obatan ini juga dapat diberikan tanpa resep dokter. Contohnya penicillin, sefalosporin, tetrasiklin, dll.
Selain itu, terdapat pula obat dengan jendela terapi yang sempit, dalam artian selisih antara dosis toxic dan dosis efektif kecil, yang memerlukan regiment dosis. Contohnya digoxin, aminoglikosida, antiaritmik, antikonvulsan, dan beberapa anti asma seperti theofilin.
b. Efek samping
Efek samping yang dimaksudkan di sini adalah efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan suatu obat. Dengan adanya efek samping ini, maka penentuan obat untuk terapi harus mempertimbangkan ratio antara manfaat dan risiko (risk-benefit ratio) penggunaannya.
c. Toksisitas
Dalam hal pemilihan obat tidak hanya dilihat apakah obat yang akan diberikan mempunyai efek terapi atau tidak, tetapi harus dipertimbangakan juga tentang keamanan pasien dalam mengkonsumsi obat ini. Yang dimaksud keamanan dalam hal ini apakah obat bersifat toksik dalam jangka pendek atau jangka panjang.
d. Hubungan antara konsentrasi-respon
Monitoring konsentrasi obat dalam plasma akan berharga penting hanya jika tetap berhubungan antara konsentrasi obat dalam plasma dengan efek terapi yang diinginkan atau antara konsentrasi obat dalam plasma dengan efek keterbalikan (adverse effects). Untuk itu jika konsentrasi obat dalam plasma dan efek terapi tidak berhubungan maka monitoring konsentrasi obat dalam plasma dapat diukur dengan parameter farmakodinamik yang lain
2. Farmakokinetik
Berdasarkan gambaran profil farmakokinetika secara umum maka secara umum didalam tubuh obat mengalami absorbsi, distribusi dan eliminasi. Proses tersebut sangat mempengaruhi kadar obat dalam plasma. Misalnya, suatu obat dapat terabsorbsi dengan cepat maka obat tersebut kadarnya akan lebih cepat menjadi tinggi di dalam plasma dibandingkan dengan obat yang absorbsinya lebih lambat. Tetapi juga harus dilihat dari segi eliminasi, jika obat cepat tereliminasi maka kadar obat dalam plasma akan cepat turun. Sehingga profil farmakokinetik tersebut dapat dilihat dari parameternya yaitu klirens, biavailabilitas dan t ½ eliminasi obat.
3. Factor klinik
a. Status pasien
1) Umur, berat badan
Regiment dosis harus dilakukan terutama pada anank-anak dan orang tua karena pada anak-anak fungsi organnya masih belum berfungsi dngan maksimal sedangkan pada orang tua fungsi organnya sudah menurun. Perubahan dan belum maksimalnya fungsi organ inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pada profil farmakokinetik sehingga respon terapi juga berbeda.
2) Pengaruh adanya penyakit lain
Perlu dipertimbangkan adanya regimen dosis, misalnya untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal, hati, dll. Misalnya salah satu kasusnya jika obat yang akan digunakan merupakan pro-drug atau metabolitnya yang aktif dan proses metabolisme ini terjadi di hati sedangkan pasien tersebut menderita gangguan fungsi hati. Maka perlu dipertimbangkan pemilihan obat lain.
b. Terapi
Pemberian macam obat dan frekuensi penggunaan yang terlalu banyak, akan berpengaruh pada ketaatan pasien untuk mengkonsumsi obat. Selain itu, bentuk sediaan yang tidak sesuai akan berpengaruh pada kenyamanan penggunaan obat. Hal ini tentunya akan membuat pasien tidak taat dalam mengkonsumsinya obat. Jika pasien tidak taat dalam mengkonsumsi obat, tentunya akan berpengaruh pada efektivitas dari obat karena kadar obat dalam plasma tidak terpenuhi.
4. Factor-faktor lain
a. Rute pemberian
Kecepatan absorpsi obat dipengaruhi oleh rute pemberian. Obat yang tidak stabil pada saluran pencernaran atau obat yang mengalami first pass metabolism tidak tepat untuk digunakan secara peroral. Pemberian secara intravena merupakan rute pemberian yang paling cepat untuk mengantarkan obat kedalam system sirkulasi dan juga lebih cepat tereliminasi sehingga pemberian harus diberikan secara intensif.
Jika obat cepat terdistribusi maka konsentrasi pada plasma lebih cepat tercapai juga sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat. Dan dapat dipastikan bahwa respon terapy juga cepat tercapai.
b. Bentuk sediaan obat
Bentuk sediaan obat lebih terkait dengan proses absobsi, dimana jika suatu obat lebih cepat terabsorbsi maka efek yang ditimbulkan akan lebih cepat. Misalnya obat yang diberikan secara i.v akan lebih cepat berefek daripada diberikan secara oral.
c. Pharmacogenetics
Perbedaan genetic antara orang yang satu dengan orang yang lain menyebabkan adanya perbedaan fungsi fisiologis tiap orang. Secara tidak langsung hal itu akan berpengaruh pada respon terapi dan toksisitas.
Adanya perbedaan genetic pada masing-masing ras menyebabkan perbedaan fungsi fisilogis dari tubuh. Misalnya orang-orang Indonesia lambungnya lebih tahan asam daripada orang-orang Jepang, sehingga obat-obat yang bersifat asam lebih mudah terabsorbsi pada orang Indonesia.
d. Interaksi obat
Jika diberikan lebih dari satu obat maka ada kemungkinan obat yang satu akan meningkatkan atau menurunkan efektifitas dari obat yang lain. Misalnya pemberian warfarin dengan fenobarbital secara bersamaan, dimana metabolit dari warfarin bersifat kurang aktif dan proses metabolism ini terjadi pada sitokrom P-450. Sedangkan fenobarbital merupakan inductor enzim pemetabolisme pada sitokrom P-450. Hal ini akan menyebabkan metabolit yang kurang aktif dari warfarin akan lebih cepat terbentuk sehingga menjadi kurang efektif.
e. Biaya
Faktor biaya juga harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk pasien. Jangan sampai pasien menjadi sangat terbebani oleh biaya obat saja, karena harus dipikirkan selain obat pasien juga masih harus mengeluarkan biaya dokter, terapi non-obat, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Shargel, L. , 2005, Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, , Edisi V, Mc Graw Hill, New York
Disusun oleh :
Akursius Rony 058114110
Wisely 058114111
Tara Asie 058114112
Francisca Tri W 058114133
Stella Maxda Juwita 058114135