Monthly Archives: March 2008

What’s the matter with therapeutic respon and toxicity……..????

Ada apa dibalik respon terapetik dan toksisitas…??? Sebuah pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang awam diluar angan dan bayangan, tetapi bagi seorang farmasis hal tersebut kiranya menjadi suatu hal yang patut untuk diperbincangkan dan dipelajari lebih lanjut. Suatu pergeseran paradigma farmasis yang semula drug oriented menjadi patient oriented sangat terkait dengan hal ini, seorang farmasis tidak hanya dituntut untuk memberikan suatu pertimbangan obat yang berefek baik tetapi juga aman bagi pasien.

RESPON TERAPETIK

Interaksi antara molekul obat dengan reseptor menyebabkan serangkaian reaksi molekuler yang menghasilkan respon farmakologis. Respon terapetik dipengaruhi oleh aktivitas farmakokinetik dan farmakodinamik dimana aktivitas farmakodinamik merupakan hubungan antara konsentrasi obat pada sisi aktif reseptor dan respon farmakologis, dimana respon farmakologis mencakup efek biokimia dan fisiologis yang mempengaruhi obat dan reseptor. Sedangkan aktivitas farmakokinetik menggambarkan proses yang dialami obat dalam tubuh yang meliputi adsorbs, distribusi, biotransformasi, dan ekskresi.

TOKSISITAS

Suatu obat dapat menimbulkan efek terapi apabila kadar obat dalam plasma masuk dalam rentang jendela terapi dan suatu obat dapat menjadi racun.

Seperti yang dapat dilihat pada grafik dosis vs konsentrasi plasma yang menggambarkan rentang jendela terapi jika konsentrasi obat dalam plasma dibawah jendela terapi maka obat tersebut tidak akan menimbulkan efek begitu pula sebaliknya jika konsentrasi obat dalam plasma melebihi daerah jendela terapi maka obat tersebut bersifat toksik.

RESPON TERAPI DAN TOKSISITAS

Keberhasilan terapi sangat tergantung pada pemilihan obat dan dosis yang digunakan. Pemberian dosis pada pasien harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Variasi profil farmakokinetik dan farmakodinamik pada tiap individu mengakibatkan pengaturan / pemberian dosis yang sesuai sulit untuk dilakukan. Penentuan dosis pada pasien dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu :

1. Aktivitas toksisitas

a. Jendela terapi

Banyak obat yang mempunyai jendela terapi luas, dalam artian selisih antara dosis toxic dan dosis efektif besar, tidak memerlukan regiment dosis tersendiri. Berdasarkan FDA (Food and Drug Administration), obat-obat ini digolongkan sebagai OTC (Over The Counter). Obat-obatan ini juga dapat diberikan tanpa resep dokter. Contohnya penicillin, sefalosporin, tetrasiklin, dll.

Selain itu, terdapat pula obat dengan jendela terapi yang sempit, dalam artian selisih antara dosis toxic dan dosis efektif kecil, yang memerlukan regiment dosis. Contohnya digoxin, aminoglikosida, antiaritmik, antikonvulsan, dan beberapa anti asma seperti theofilin.

b. Efek samping

Efek samping yang dimaksudkan di sini adalah efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan suatu obat. Dengan adanya efek samping ini, maka penentuan obat untuk terapi harus mempertimbangkan ratio antara manfaat dan risiko (risk-benefit ratio) penggunaannya.

c. Toksisitas

Dalam hal pemilihan obat tidak hanya dilihat apakah obat yang akan diberikan mempunyai efek terapi atau tidak, tetapi harus dipertimbangakan juga tentang keamanan pasien dalam mengkonsumsi obat ini. Yang dimaksud keamanan dalam hal ini apakah obat bersifat toksik dalam jangka pendek atau jangka panjang.

d. Hubungan antara konsentrasi-respon

Monitoring konsentrasi obat dalam plasma akan berharga penting hanya jika tetap berhubungan antara konsentrasi obat dalam plasma dengan efek terapi yang diinginkan atau antara konsentrasi obat dalam plasma dengan efek keterbalikan (adverse effects). Untuk itu jika konsentrasi obat dalam plasma dan efek terapi tidak berhubungan maka monitoring konsentrasi obat dalam plasma dapat diukur dengan parameter farmakodinamik yang lain

2. Farmakokinetik

Berdasarkan gambaran profil farmakokinetika secara umum maka secara umum didalam tubuh obat mengalami absorbsi, distribusi dan eliminasi. Proses tersebut sangat mempengaruhi kadar obat dalam plasma. Misalnya, suatu obat dapat terabsorbsi dengan cepat maka obat tersebut kadarnya akan lebih cepat menjadi tinggi di dalam plasma dibandingkan dengan obat yang absorbsinya lebih lambat. Tetapi juga harus dilihat dari segi eliminasi, jika obat cepat tereliminasi maka kadar obat dalam plasma akan cepat turun. Sehingga profil farmakokinetik tersebut dapat dilihat dari parameternya yaitu klirens, biavailabilitas dan t ½ eliminasi obat.

3. Factor klinik

a. Status pasien

1) Umur, berat badan

Regiment dosis harus dilakukan terutama pada anank-anak dan orang tua karena pada anak-anak fungsi organnya masih belum berfungsi dngan maksimal sedangkan pada orang tua fungsi organnya sudah menurun. Perubahan dan belum maksimalnya fungsi organ inilah yang menyebabkan adanya perbedaan pada profil farmakokinetik sehingga respon terapi juga berbeda.

2) Pengaruh adanya penyakit lain

Perlu dipertimbangkan adanya regimen dosis, misalnya untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal, hati, dll. Misalnya salah satu kasusnya jika obat yang akan digunakan merupakan pro-drug atau metabolitnya yang aktif dan proses metabolisme ini terjadi di hati sedangkan pasien tersebut menderita gangguan fungsi hati. Maka perlu dipertimbangkan pemilihan obat lain.

b. Terapi

Pemberian macam obat dan frekuensi penggunaan yang terlalu banyak, akan berpengaruh pada ketaatan pasien untuk mengkonsumsi obat. Selain itu, bentuk sediaan yang tidak sesuai akan berpengaruh pada kenyamanan penggunaan obat. Hal ini tentunya akan membuat pasien tidak taat dalam mengkonsumsinya obat. Jika pasien tidak taat dalam mengkonsumsi obat, tentunya akan berpengaruh pada efektivitas dari obat karena kadar obat dalam plasma tidak terpenuhi.

4. Factor-faktor lain

a. Rute pemberian

Kecepatan absorpsi obat dipengaruhi oleh rute pemberian. Obat yang tidak stabil pada saluran pencernaran atau obat yang mengalami first pass metabolism tidak tepat untuk digunakan secara peroral. Pemberian secara intravena merupakan rute pemberian yang paling cepat untuk mengantarkan obat kedalam system sirkulasi dan juga lebih cepat tereliminasi sehingga pemberian harus diberikan secara intensif.

Jika obat cepat terdistribusi maka konsentrasi pada plasma lebih cepat tercapai juga sehingga efek yang ditimbulkan lebih cepat. Dan dapat dipastikan bahwa respon terapy juga cepat tercapai.

b. Bentuk sediaan obat

Bentuk sediaan obat lebih terkait dengan proses absobsi, dimana jika suatu obat lebih cepat terabsorbsi maka efek yang ditimbulkan akan lebih cepat. Misalnya obat yang diberikan secara i.v akan lebih cepat berefek daripada diberikan secara oral.

c. Pharmacogenetics

Perbedaan genetic antara orang yang satu dengan orang yang lain menyebabkan adanya perbedaan fungsi fisiologis tiap orang. Secara tidak langsung hal itu akan berpengaruh pada respon terapi dan toksisitas.

Adanya perbedaan genetic pada masing-masing ras menyebabkan perbedaan fungsi fisilogis dari tubuh. Misalnya orang-orang Indonesia lambungnya lebih tahan asam daripada orang-orang Jepang, sehingga obat-obat yang bersifat asam lebih mudah terabsorbsi pada orang Indonesia.

d. Interaksi obat

Jika diberikan lebih dari satu obat maka ada kemungkinan obat yang satu akan meningkatkan atau menurunkan efektifitas dari obat yang lain. Misalnya pemberian warfarin dengan fenobarbital secara bersamaan, dimana metabolit dari warfarin bersifat kurang aktif dan proses metabolism ini terjadi pada sitokrom P-450. Sedangkan fenobarbital merupakan inductor enzim pemetabolisme pada sitokrom P-450. Hal ini akan menyebabkan metabolit yang kurang aktif dari warfarin akan lebih cepat terbentuk sehingga menjadi kurang efektif.

e. Biaya

Faktor biaya juga harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk pasien. Jangan sampai pasien menjadi sangat terbebani oleh biaya obat saja, karena harus dipikirkan selain obat pasien juga masih harus mengeluarkan biaya dokter, terapi non-obat, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Shargel, L. , 2005, Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics, , Edisi V, Mc Graw Hill, New York

Disusun oleh :

Akursius Rony                 058114110

Wisely                              058114111

Tara Asie                         058114112

Francisca Tri W              058114133

Stella Maxda Juwita        058114135

 

 

Respon Terapetik dan Toksisitas (tugas 1)

Maria Corazon 058114065 Yosephin Dyah S.P. 058114113
Ika Marlinah 058114129 Donald Tandiose 058114130
Bernadetta T.K. 058114144
Respon Terapetik dan Toksisitas
Dari judul diatas apa yang terlintas di benak kita??? Apa itu respon terapetik dan apa itu toksisitas? Apa kaitan antara tema diatas dengan mata kuliah farmakokinetika klinik?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut hendaknya kita paham tentang pengertian dari farmakokinetika klinik, respon terapetik dan toksisitas serta kaitan atau hubungan ketiganya. Farmakokinetika klinik merupakan penerapan prinsip farmakologi dalam penanganan suatu penyakit. Adapun prinsip farmakologi berkaitan dengan farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik dapat diartikan sebagai nasib obat didalam tubuh atau hal-hal yang dialami obat hingga mencapai cairan plasma, sedangkan farmakodinamik menyatakan pengaruh kerja obat dalam tubuh hingga memberikan efek tertentu. Respon terapeutik dapat diartikan sebagai hasil kerja obat hingga mencapai efek yang diinginkan dari penggunaan obat tersebut. Sedangkan toksisitas dapat diartikan sebagai suatu efek yang tidak diinginkan dari suatu penggunaan obat yang digunakan dengan dosis yang lazim digunakan.
Diketahui bahwa intensitas efek farmakologik suatu obat tergantung pada kadar obat tersebut dalam cairan tubuh yang berada disekitar tempat aksi. Dengan demikian timbul pemikiran bahwa mestinya efek farmakologik dapat dioptimalkan dengan mengatur kadar obat di tempat aksinya, selama periode waktu tertentu. Lebih lanjut, dengan mengetahui tempat aksi obat dan mengetahui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh tubuh terhadap obat (absorpsi, distribusi obat ke tempat aksi dan eliminasinya), maka dapat dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari dosis optimal, berdasarkan kadar obat yang terukur dalam darah.
Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa efek suatu obat (onset dan durasi) sangat dipengaruhi oleh kecepatan untuk mencapai kadar maksimum (Cm) dan waktu obat dieliminasi. Terdapat 4 kemungkinan yang terjadi yaitu, jika :
1. Distribusi cepat dan eliminasi lambat.
2. Distribusi lambat dan eliminasi cepat
3. Distribusi cepat dan eliminasi juga cepat
4. Distribusi lambat dan eliminasi juga lambat
Therapeutic Drug Monitoring (TDR)
Pada penjelasan diatas sangat ditekankan bahwa untuk memberikan suatu efek, obat harus mencapai kadar maksimumnya pada cairan tubuh. Pernyataan ini dapat kita anggap benar, namun kita harus ingat bahwa belum tentu dengan kadar yang maksimum (sangat pekat) dalam darah, suatu obat memberikan efek terapetik (menyembuhkan), ada kemungkinan bahwa kadar yang maksimum tersebut malah dapat memberikan suatu efek yang toksik. Oleh karena itu pada penjelasan selanjutnya penulis akan mencoba menjelaskan rentang efek terapi dan efek toksik suatu obat.
Setiap obat mempunyai batas / range konsentrasi untuk memberikan efek terapi dan efek toksik. Range ini disebut sebagai jendela terapi/therapeutic drug monitoring (TDM). Ada tiga daerah yang harus diperhatikan pada TDM, yaitu:
 KEM (Konsentrasi Efektif Minimum), menyatakan batas terendah suatu obat untuk memberikan efek. Jika konsentrasi obat dalam plasma dibawah KEM maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi.
 Jendela terapi, merupakan daerah suatu obat untuk memberikan efek terapi
 KTM, menyatakan batas atas penggunaan suatu obat. Jika suatu konsentrasi suatu obat diatas KTM maka yang akan muncul adalah efek toksik.
TDR sangat diperlukan untuk menjamin keamanan penggunaan suatu obat seperti,
a) Bila obat mempunyai lingkup terapi sempit, misalnya aminoglikosida,fenitoin
b) Bila obat dipakai dalam jangka waktu lama sehingga ada kekhawatiran akumulasi, misalnya fenitoin dan fenobarbital pada pasien epilepsi,
c). Bila variasi antar individu dalam proses kinetik besar sekali, sehingga meskipun pada dosis lazim mungkin efek terapetik yang terjadi tidak adekuat, atau mungkin malah terlalu besar. Sebagai contoh adalah teofilin untuk bronkodilator pada asma.
Agar tetap masuk dalam jendela terapi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu pemberian dosis atau konsentrasi obat berdasarkan berat badan dan luas tubuh pasien (farmakokinetika), kondisi patofisiologi pasien dan melihat daftar medis penggunaan obat pasien selain itu juga penting dalam melihat lama waktu pengunaan obat, atau sudah penggunaan dosis ke berapa, ada tidaknya perubahan dosis.
Adapun TDR sangat berperan dalam penentuan “how much ; how often :how long” seperti :
 Pemilihan obat
 Desain aturan pemakaian obat
 Mengevaluasi respon pasien terhadap obat
 Penentuan kadar obat yang dibutuhkan oleh pasien
 Menunjukkan profil farmakokinetika obat

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ATURAN DOSIS
Adapun factor yang mempengaruhi pemberian dosis obat, adalah :
1. Potensi ketoksikan, antara lain :
a. Jendela terapi, merupakan range daerah batas aman ( antara KEM dan KTM ). Ada beberapa obat yang memiliki jendela terapi yang sempit, sehingga memiliki potensi ketosikan. Untuk mengatasi permasaahan ini, kita harus mengatur antara dosis dan waktu pemberian, sehingga obat tersebut masuk dalam jendela terapi.
b. Adverse drug reaction (ADR), merupakan efek yang tidak diinginkan, yang timbul pada penggunaan obat pada dosis terapi. Untuk meminimalkan ADR yang muncul, maka perlu mengatur dosis dan lama masa serta frekuensi pemberian obat.
c. Efek toksik, merupakan efek yang tidak diinginkan pada penggunaan obat dengan dosis berlebih ( dosis toksik). Contoh : penggunaan parasetamol, bila digunakan pada dosis berlebih, maka salah satunya akan menimbulkan kanker hati atau kerusakan hati. Maka kita harus menggunakan parasetamol dalam dosis terapi.
d. Hubungan antara konsentrasi dan respon
Pada rentang dosis tertentu hubungan antara konsentrasi dan respon dapat menimbulkan efek terapi, tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik. Di mana semakin tinggi konsentrasi, maka respon yang ditimbulkan semakin besar ( respon terapetik dan respo toksik ). Contoh : Loading dose, dengan dosis yang tinggi pada awal pemakaian dapat meingkatkan konsentrasi obat dalam darah dan dapat mempercepat timbulnya respon.
2. Farmakokinetika
a. Absorbsi, merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian sampai ke system sistemik. Banyak factor yang mempengaruhi absorbsi, salah satunya yaitu kecepatan pengosongan lambung.
Obat yang absorbsinya tidak dipengaruhi oleh makanan maka dosisnya tidak perlu diubah, tetapi obat yang absorbsinya dipengaruhi oleh makanan maka dalam penggunaannya digunakan sebelum makan atau dapat digunakan setelah makan.
b. Distribusi, merupakan perpindahan obat dari saluran sistemik ke tempat aksinya. Apabila suatu obat memilki waktu paruh yang lama, maka kecepatan distribusi obat semakin cepat dan akan semakin cepat terjadi akumulasi (terjadinya efek toksik). Untuk mengatasi hal tersebut, maka dosis dan cara pemakaiannya harus dikurangi.
c. Metabolisme, merupakan proses perubahan obat menjadi metabolitnya ( aktif dan non aktif). Semakin besar dosis suatu obat, maka kemungkinan metaboilit aktif semakin banyak, maka respon yang dihasilkan juga akan semakin besar.
d. Ekskresi, berkaitan dengan eliminasi. Dimana semakin cepat eliminasi suatu obat, maka durasinya juga semakin cepat. Untuk mengatasinya maka frekuensi penggunaan obat perlu ditingkatkan agar tetap masuk dalam jendela terapi.
3. Factor klinik
a. Keadaan pasien
– Umur dan berat badan, pengaturan suatu dosis obat dipengaruhi oleh umur ini berkaitan dengan fungsi organ. Fungsi organ pada bayi belum dapat berfungsi secara optimal, sedangkan pada manula fungsi organnya sudah mengalami penurunan., Berat badan juga mempengaruhi pengaturan dosis, maka sebaiknya pengaturan dosis berdasarkan berat badan pasien.
– Kondisi pasien yang diterapi ,sebagai contoh, pada pasien geriatric dan pediatric, maka pengaturan dosis harus diperhitungkan.
– Adanya penyakit lain, adanya penyakit lain selain penyakit utama berupa kelainan fungsi organ ekskresi. Sebagai contoh: mengobati penyakit DM disertai gangguan ginjal, maka karena obat sukar di ekskresi, penggunaan dosis obat harus diturunkan, tetapi masih dalam dosis terapi.
b. Manajemen terapi
– Multiple drug therapy, berkaitan dengan penggunaan obat yang lebih dari satu. Maka kita harus mengatur banyaknya dosis, frekuensi pemberian selama sehari dan lama penggunaan obat. Hal ini untuk mencegah adanya efek toksik dan untuk mengatur ketaatan pasien dalam penggunaan obat.
– Pemakaian yang praktis, hal ini berkaitan dengan kondisi pasien dan kenyamanan penggunaan. Misalnya pada pasien yang tidak sadar, sebaiknya pemilihan obat disesuaikan, tidak mungkin diberikan secara oral, melainkan secara injeksi. Selain itu, yang berkaitan dengan kenyamanan pasien pada penggunaan sirup lebih nyaman pada anak-anak daripada penggunaan tablet.
– Ketaatan pasien, berkaitan dengan frekuensi dan lama penggunaan obat. Jika frekuensi penggunaan obat terlalu sering dan waktu penggunaannnya sangat lama, maka akan timbul ketidaktaatan pada pasien. Untuk mengatasi hal ini, dipilih obat yang memilki durasi yang lama, untuk meminimalkan frekuensi penggunaan obat.
4. Faktor lain
a. Rute pemberian dan bentuk sediaan, rute pemberian berkaitan dengan besarnya dosis dan seberapa sering penggunaan obat. Dosis pemberian secara i.v lebih kecil dibandingkan p.o. hal ini karena pada i.v tidak terjadi proses absorbsi, karena pada proses absorbsi juga terjadi proses eliminasi, dan frekuensi i.v lebih sedikit. Selain itu frekuensi penggunaan i.v lebih sedikit dibandingkan oral. Hal ini, karena pada pemberian i.v langsung masuk dalam sirkulasi sistemik, sedangkan pada p.o membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai tujuan terapi.
b. Toleransi, berkaitan dengan peningkatan dosis untuk mnecapai efek yang diinginkan. Toleransi dilakukan, ketika suatu dosis belum mencapai efek yang diinginkan. Contoh; antibiotik
c. Farmakogenetika-idiosinkrasi, berkaitan dengan pengaruh gen terhadap suatu obat. Sebagai contoh : seseorang yang menderita kelainan gen sitokrom P-450.
d. Interaksi obat, pemberian obat secara bersama, dapat menimbulkan efek yang meningkatkan atau menurunkan. Sebagai contoh penggunaan fenobarbital dan simetidin. Dimana fenobarbtal bila diberikan bersamaan dengan simetidin, maka fenobarbital dapat meningkatkan efek dari simetidin.
e. Biaya, biaya sangat berpengaruh terhadap frekuensi penggunaan obat dan lama penggunaan. Apabila suatu obat harus diberikan dalam jangka waktu yang sangat panjang maka kita harus memperhitungkan faktor sosio-ekonomi pasien. Sebagai contoh pasien dengan penyakit TBC yang harus meminum banyak obat. Jika pasiennya kurang mampu, maka sebaiknya kita menyarankan untuk memberikan obat generik daripada obat paten.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.google.com “Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada”
diakses tanggal 21 february 2008.
http://en.wikipedia.org/wiki/Adverse_drug_reaction, diakses tanggal 21 februari 2007
Shargel, Leon dkk, 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics fifth edition, America, the McGraw-Hill companies.
Lee, Anne, 2006, Adverse Drug Reaction, USA, pharmaceutical press
Anonim, 2003, farmakologi dan terapi edisi 4, bagian farmakologi fakultas kedokteran gigi universitas Indonesia, Jakarta

TUGAS FARMAKOKINETIKA KLINIK 1

RESPON TERAPEUTIK VS TOKSISITAS ASPIRIN

 

Efek terapeutik obat tergantung dari banyak faktor, antara lain dari cara dan bentuk pemberiannya, sifat fisikokimiawinya yang menentukan resorpsi, biotransformasi dan ekskresinya dalam tubuh. Begitu pula dari kondisi fisiologis pemakai (fungsi hati, ginjal, usus, dan peredaran darah). Faktor – faktor individual lainnya, misalnya etnik, kelamin, luas permukaan badan dan kebiasaan makan juga sangat penting. Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek toksis. Pada umumnya, reaksi toksis berhubungan langsung dengan tingginya dosis, bila dosis diturunkan, efek toksis dapat dikurangi pula.

Sifat dan intensitas efek suatu bahan kimia bergantung pada kadarnya di tempat kerja, yaitu dosis efektifnya. Umumnya, kadarnya di dalam organ sasaran merupakan fungsi kadar darah. Namun, peningkatan toksikan dalam jaringan akan menambah kadarnya, sementara sawar jaringan cenderung mengurangi kadarnya. Karena kadar darah lebih mudah diukur, terutama pada jangka waktu tertentu, inilah parameter yang sering digunakan dalam penelitian toksikokinetik.

Artikel ini akan membahas berbagai bentuk dan mekanisme interaksi obat dan dampaknya secara klinik serta bagaimana menghindari kemungkinan-kemungkinan dampak yang merugikan. Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan. Kemungkinan terjadinya peristiwa interaksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan atau hampir bersamaan.. Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul efek samping dan tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan.

Interaksi obat berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu :

1.      Interaksi farmasetik

Adalah interaksi fisiko-kimia yang terjadi pada saat obat diformulasikan/disiapkan sebelum obat di gunakan oleh penderita. Misalnya dua obat yang dicampur pada larutan yang sama dapat terjadi reaksi kimia atau terjadi pengendapan salah satu senyawa, atau terjadi pengkristalan salah satu senyawa. Bentuk interaksi:

a. Interaksi secara fisik

Misalnya : Terjadi perubahan kelarutan dan penurunan titik beku

b. Interaksi secara khemis

Misalnya : Terjadinya reaksi satu dengan yang lain atau terhidrolisisnya suatu obat selama dalam proses pembuatan ataupun selama dalam penyimpanan.

2.      Interaksi farmakokinetik

Pada interaksi ini obat mengalami perubahan pada proses ADME yang disebabkan karena obat/senyawa lain. Hal ini umumnya diukur dari perubahan pada satu atau lebih parameter farmakokinetika, seperti konsentrasi serum maksimum, luas area dibawah kurva, waktu, waktu paruh, jumlah total obat yang diekskresi melalui urine, dsb.

3.  Interaksi farmakodinamik.

Adalah obat yang menyebabkan perubahan pada respon pasien disebabkan karena berubahnya farmakokinetika dari obat tersebut karena obat lain yang terlihat sebagai perubahan aksi obat tanpa mengalami perubahan konsentrasi plasma. Misalnya naiknya toksisitas dari digoksin yang disebabkan karena pemberian secara bersamaan dengan diuretic boros kalium misalnya furosemid

 

METABOLISME OBAT

Hepar adalah organ utama dalam metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada dasarnya enzim hepar merubah obat menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam air sehingga, mudah diekskresi melalui ginjal dan empedu. Metabolisme obat dalam hepar ada 2 tahap. Pada tahap I, terjadi reduksi hidrolisa dan oksidasi. Pada tahap ini belum terjadi proses detoksikasi, karenanya kadangkadang terbentuk suatu bahan metabolit yang justru bersifat toksik. Pada tahap ke II, terjadi reaksi konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat glisin, sehingga terbentuk bahan yang kurang toksik, mudah larut dalam air dan secara biologis kurang aktif. Metabolisme ini terjadi dalam mikrosom sel hati, dan yang berperan: NADPH C Reduktase dan Sitokrom p 450.

Salah satu obat yang kami bahas dalam artikel ini yang memiliki efek terapetik dan toksisitas adalah Aspirin. Aspirin/asam asetil salisilat/asetosal merupakan obat hepatotoksik (obat yang dapat menyebabkan kelainan pada hepar dan tergantung pada besarnya dosis (Predictable)). Gejala hepatotoksik timbul bila kadar salisilat serum lebih dari 25 mg/dl (dosis : 3 – 5 g/hari). Keadaan ini nampaknya sangat erat hubungannya dengan kadar albumin darah, karena bentuk salisilat yang bebas inilah dapat merusak hepar. Pemilihan obat pada anak terbatas pada NSAID yang sudah diuji penggunaannya pada anak, yaitu: aspirin, naproksen atau tolmetin, kecuali pemberian aspirin pada kemungkinan terjadinya Reye’s Syndrome, aspirin untuk menurunkan panas dapat diganti dengan asetaminofen, nimesulide, seperti halnya NSAID lain, tidak dianjurkan untuk anak dibawah 12 tahun karena aspirin bersifat iritatif terhadap lambung sehingga meningkatkan risiko ulkus (luka) lambung, perdarahan, hingga perforasi (kebocoran akibat terbentuknya lubang di dinding lambung), serta menghambat aktivitas trombosit (berfungsi dalam pembekuan darah) sehingga dapat memicu resiko perdarahan).

 

ASPIRIN

MEKANISME KERJA

®    Mengasetilasi enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan enzim cyclic endoperoxides.

®    Menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalarn trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit.

®    Menginaktivasi enzim-enzim pada trombosit tersebut  secara permanen. Penghambatan inilah yang mempakan cara kerja aspirin dalam pencegahan stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack).

®    Pada endotel pembuluh darah, menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu mengurangi agregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak.

FARMAKOKINETIKA

Mula kerja : 20 menit -2 jam.

Kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalam plasma tidak berbanding lurus dengan besamya dosis.

Waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung besar dosis yang diberikan.

Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya.

Metabolisme : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru.

Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta konyugasi metabolitnya.

FARMAKODINAMIK

Adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya ; pemberian bersama antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma.

EFEK TERAPEUTIK

Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus. Menurunkan resiko menderita stroke pada penderita resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang tidak bisa diberikan anti koagulan.

KONTRAINDIKASI

Hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung, anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah.

INTERAKSI OBAT

Obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol clan, angiotensin converting enzymes.

EFEK SAMPING

Nyeri epigastrium, mual, muntah , perdarahan lambung.

EFEK TOKSIK

Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena lebih sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan pada trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan  gangguan pada janin atau menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita menyusui karena disekresi melalui air susu.

DOSIS

FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali pemberian. Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek sampingnya lebih sedikit.

 

UPAYA MENGHINDARI DAMPAK NEGATIF

1. Hindari pemakaian obat gabungan (polifarmasi), kecuali jika memang kondisi penyakit yang diobati memerlukan gabungan obat dan pengobatan gabungan tersebut sudah diterima dan terbukti secara ilmiah manfaatnya.

2. Kenali sebanyak mungkin kemungkinan interaksi yang timbul pada obat-obat yang sering diberikan bersamaan dalam praktek polifarmasi.

3. Jika ada interaksi, perlu dilakukan tindakan-tindakan, misal pengurangan dosis atau mengganti obat lain yang memiliki efek terapetik yang sama tapi tidak menimbulkan interaksi yang  merugikan.

4. Evaluasi efek sesudah pemberian obat-obat secara bersamaan untuk menilai ada tidaknya efek samping/toksik dari salah satu atau kedua obat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2008, http://209.85.175.104/search?q=cache:aH4ba3H8RPIJ:library.usu.

ac.id, Diakses tanggal 21 Februari 2008

Lu, Frank C,1995, Toksikologi Dasar, ed 2, 25-27, UI Press, Jakarta

Raharja, Kirana, Drs, 1997, Obat-Obat Penting, ed 5, 35, 39, Penerbit Elex Media Computindo, Jakarta

 

Disusun oleh:

Arif Eka Santoso (048114138)

Rosye Octavyani (058114058)

Maria Widiastuti Dwi Nugraha (058114067)

Linna Ferawati Gunawan (058114070)


 

 

Sinergi

Inspirasi

Kami menyajikan pula berbagai artikel “inspirasi” yang bertujuan untuk memberikan ide kepada semua pembaca terutama yang sedang mengalami problem kesehatan. artikel yang ada merupakan artikel yang singkat yang bermaksud untuk memotivasi, menginspirasi semua orang yang kebetulan sedang dilanda sakit dan tidak tahu harus bagaimana. semoga artikel yang ada ini dapat bermanfaat dan apabila ingin membaca artikel motivasi yang lain silakan buka http://yw-motivation.blogs.friendster.com/ywmotivation.

Selamat menikmati

Tentang kami…

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca blog ini, terutama yang sudah memberikan komentar terhadap beberapa artikel yang sudah ditampilkan di sini. Semua artikel yang ada di blog ini merupakan karya mahasiswa S1 Farmasi dan mahasiswa Program Profesi Apoteker Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Continue reading

Jalan-jalan

Saya mempunyai ayah yang telah berusia 80 tahun pada tahun ini. selama hidupnya, bapak sangat menjaga pola hidupnya terutama untuk kesehatan. apapun yang terkait dengan kesehatan , bapak pasti membaca dan seandainya itu cocok mungkin akan diterapkan. Yang kontinu dan selalu diterapkan sampai hari ini ada 2 hal yaitu tidur cukup (7-8) jam dan jalan-jalan selama 2 jam per hari. sejak saya kecil, bapak selalu berjalan-jalan selama 2 jam dan itu semua sebagian besar dilakukan di dalam rumah, muter2 terus (kok ga bosan ya). Dan ketekunan itu berbuah, di mana pada usia 80 tahun bapak masih sehat, bisa membaca koran (tanpa kaca mata), boleh makan dengan bebas dan hasil check up, semua parameter gula, ginjal, hepar, jantung dll relatif baik. Klau ANLENE mengatakan, isilah hari-hari anda dengan 10000 langkah, ternyata bapak saya telah melakukannya sejak jaman dahulu. Tanpa kenal lelah selalu jalan-jalan……2 jam/hari, tidak mudah untuk melakukannya…..tetapi patut dicoba

yw-motivation

Cp KERAP MEMBERI KORELASI BURUK TERHADAP RESPON

 

Cp KERAP MEMBERI KORELASI BURUK TERHADAP RESPON

(DURASI vs INTENSITAS EXPOSURE)

Suatu terapi yang optimal memerlukan penentuan obat secara tepat, yang dapat dilakukan dengan dukungan diagnosis yang akurat, pengetahuan tentang kondisi klinis pasien dan penguasaan farmakoterapi. Setelah obat ditentukan, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: berapa banyak, berapa sering dan berapa lama obat tersebut dibutuhkan? “Berapa banyak” perlu dijawab karena timbulnya intensitas efek obat (terapetik maupun toksik) umumnya tergantung dosis. “Berapa sering” dipertanyakan karena respons terapetik akan menurun setelah selang waktu tertentu sesudah minum obat sehingga pemberian obat mungkin perlu berulang-ulang, dan pertanyaan “berapa lama” perlu dijawab agar dapat dicapai keseimbangan antara keberhasilan (kesembuhan) dengan resiko pengobatan (toksisitas, efek samping maupun ekonomik)

Berdasarkan penelitian in vitro maupun in vivo, ternyata intensitas efek farmakologik suatu obat tergantung pada kadar obat tersebut dalam cairan tubuh yang berada di sekitar tempat aksi. Dengan demikian, kemudian timbul pemikiran bahwa mestinya efek farmakologik dapat dioptimalkan dengan mengatur kadar obat di tempat aksinya, selama periode waktu tertentu.

Pada umumnya efek obat tergantung pada kadarnya dalam sirkulasi sistemik, maka bisa dimengerti bahwa efek obat akan menurun/hilang setelah selang beberapa waktu dari saat pemberian obat. Selang waktu ini bervariasi, tergantung dari laju eliminasi obat dalam tubuh, atau dengan kata lain tergantung pada waktu paruh eliminasi (T1/2)nya. Obat dengan nilai T1/2 panjang mungkin cukup dengan pemberian 1 x sehari (misalnya fenobarbital). Dengan demikian, dapat dipahami pula mengapa seringkali diperlukan pemberian dosis berulang pada pengobatan untuk penyakit-penyakit tertentu.

Secara definitif, T1/2 adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik berkurang menjadi separuhnya. Nilai T1/2 ini banyak digunakan untuk memperkirakan berbagai kondisi kinetik, misalnya kapan obat akan habis dari dalam tubuh, kapan sebaiknya dilakukan pemberian ulang (interval pemberian), kapan kadar obat dalam sirkulasi sistemik mencapai keadaan tunak (steady state) pada pemberian berulang.

Plot antara konsentrasi obat dalam plasma (Cp) terhadap waktu (t) menghasilkan nilai AUC (Area Under Curve). Nilai ini menggambarkan derajat absorpsi, yakni berapa banyak obat diabsorpsi dari sejumlah dosis yang diberikan. Dengan membandingkan nilai AUC pemberian ekstravaskuler terhadap AUC intravena suatu obat dengan dosis yang sama, akan didapatkan nilai ketersediaan hayati absolut (atau disebut F), yakni fraksi obat yang dapat diabsorpsi dari pemberian ekstravaskuler. Parameter ini juga menunjukkan lama dan intensitas keberadaan obat dalam tubuh. Bila intensitas efek obat sangat erat kaitannya dengan kadar (misalnya untuk obat-obat teofilin, tolbutamid, digoksin, antibiotika), secara tidak langsung nilai ini juga akan menggambarkan durasi dan intensitas efek obat. Gambaran durasi didapatkan dari lamanya kadar obat berada di atas kadar efektif minimal (KEM), dan intensitas efek dapat digambarkan dengan tingginya kadar obat terhadap KEM.

terapi dosis berulang

Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa pemberian dosis berulang bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam plasma dan durasi. Walaupun konsentrasi dan durasi tetap dipertahankan namun korelasinya terhadap respon tidak selalu baik. Karena kadar obat yang terukur dalam darah justru tidak bertambah tinggi meskipun obat diberikan berulang-ulang (atau yang disebut sebagai steady state). Hal ini terjadi karena tubuh mempunyai kemampuan untuk membentuk kompleks yang akan menyebabkan terjadinya penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi. Korelasi buruk dapat terjadi tergantung pada kondisi pasien dan bentuk aktif dari obat (metabolit atau obat utuh).

Sebagai contoh pasien dengan gangguan fungsi ginjal jika obat yang digunakan diekskresikan terutama melalui ginjal dan mempunyai lingkup terapi sempit misalnya amikasin (suatu aminoglikosida). Penurunan fungsi ginjal akan menyebabkan T 1/2 nya memanjang, sehingga pada pemberian dosis berulang dengan interval pemberian yang lazim akan diperoleh kadar tunak yang jauh lebih tinggi dari pada semestinya. Keadaan ini disebut akumulasi. Akumulasi ini menyebabkan Cp lebih tinggi daripada semestinya dan durasi lebih panjang, namun respon yang timbul justru tidak dikehendaki (efek toksik). Karena itu, pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, regimen dosis amikasin, dan juga aminoglikoda lainnya harus diubah, yaitu dengan mengurangi dosis atau menjarangkan interval pemberian sesuai perkiraan T 1/2 nya.

Oleh :

1. Widya Adhitama (058114069)

2. Sukma Paramita C. (058114073)

3. Dewi Krisnawati S. (058114075)

4. Ika Reny Rahmawati (058114078)

5. Lise Natalia (058114079)

AKSI METABOLIT AKTIF ATORVASTATIN

Veronica Ari H.            058114089

Antonia Vita H.            058114101

Imelda C                      058114102

 

Cardiovascular Disease (CVD) kini sudah menjadi endemik di seluruh dunia, menyebabkan 15 juta kematian per tahun atau 30% dari seluruh kematian di seluruh dunia. CVD atau penyakit komplikasi kardiovaskular adalah kelompok penyakit/kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi, Penyakit Jantung Koroner (PJK), stroke, penyakit pembuluh darah perifer, gagal jantung dan berbagai penyakit jantung lain. Salah satu faktor risiko terjadinya CVD adalah kadar kolesterol, terutama kolesterol “jahat” LDL yang tinggi.

Menjadi masuk akal jika menurunkan kadar LDL, menjadi pilihan utama pencegahan terhadap CVD. Statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase inhibitors) selama ini dikenal sebagai penurun kolesterol (LDL) yang poten. Statin dapat menurunkan kadar kolesterol LDL secara efektif, selain juga dapat menurunkan kadar trigliserida. Namun tidak semua jenis statin sama karena masing-masing memiliki profil tersendiri.

Peningkatan kadar LDL akan memicu terjadinya aterosklerosis lebih dini. Tapi fakta berdasarkan hipotesis modifikasi oksidatif, mengatakan bahwa LDL dalam bentuk aslinya sebenarnya tidak bersifat aterogenik. Kenapa LDL menjadi berbahaya? Alasan paling masuk akal dan bisa dijelaskan secara biologis adalah perubahan bentuk LDL karena proses oksidasi.

 

LDL bisa teroksidasi dan termodifikasi karena perubahan sel-sel utama pada dinding arteri. Di tahap sangat dini, oksidasi ringan LDL akan menghasilkan bentuk yang disebut minimally modified LDL (MM-LDL) pada sub-endotelial. MM-LDL ini sangat berbeda dari segi komposisi dibandingkan LDL yang sudah teroksidasi dengan kuat. Kolesterol masih menjadi sterol predominan, apoB dari MM-LDL masih berikatan dengan reseptor LDL (LDL-R), dan inkubasi makrofag dengan MM-LDL tidak menghasilkan bentuk sel bergelembung (foam-cell). Meski demikian, proporsi rantai lemak tak jenuh dari ester kolesteril dan fosfolipid di MM-LDL secara signifikan telah teroksidasi menjadi hidroperoksida, isoprostan, dan aldehid rantai pendek yang memiliki efek biologi cukup poten.

 

Oksidasi LDL yang ekstensif (Ox-LDL) tidak dikenali oleh reseptor LDL tapi sangat disukai oleh reseptor di makrofag dan memicu akumulasi ester kolesterol yang cukup besar dan terbentuk sel bergelembung (foam-cell). Singkat cerita, oksidasi LDL memiliki beberapa efek biologi yang merugikan di antaranya pro-inflamasi, menyebabkan penghambatan sintesa oksida nitrit di endotel (eNOS), memicu vasokonstriksi dan adesi, menstimulasi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), dan peningkatan agregasi platelet.

 

Oksidasi LDL akan melahirkan produk seperti sitoktoksik dan bisa memicu apoptosis. Oksidasi LDL juga bisa membalikkan efek koagulasi dengan menstimulasi jaringan faktor dan sintesis plasminogen activator inhibitor-1. Properti aterogenik lain dari oksidasi LDL adalah imunogensiti dan kemampuannya memicu retensi makrofag pada dinding arteri dengan menghambat motilitas makrofag. Sebagai tambahan, LDL teroksidasi akan menstimulasi proliferasi SMC vascular. Sehingga, penebalan intima (lapisan pembuluh darah yang paling dalam) akan mengurangi lumen pembuluh darah dan ke depan akan berpotensi menyebabkan hipertensi dan aterosklerosis.

 

 

            Aksi Metabolit Aktif Atorvastatin

Lesi aterosklerosis yang luas dicirikan dengan pembentukan kolesterol berbentuk kristal mikroskopik. Kristal ini memberikan kontribusi terhadap mekanisme inflamasi dan memicu kematian sel. Kristal-kristal ini terbentuk dari membran kolesterol, dan proses ini dipercepat oleh kondisi hiperlipidemia dan stress oksidatif.

Peran statin terhadap stres oksidatif yang terlibat dalam perubahan formasi kolesterol.Atorvastatin dalam bentuk metabolit aktif atau active o-hydroxy metabolite (ATM) banyak dipilih karena potensinya sebagai antioksidan dan sebagai penghambat HMG-CoA redcutase yang independen. 70% atorvastatin terdapat di serum dalam bentuk metabolit hidroksi yang merupakan penghambat HMG-CoA reductase aktif.

Terapi dengan atorvastatin menujukkan manfaat anti-inflamasi dan antioksidan, yang ditunjukkan dengan penurunan resiko dan progresivitas penyakit kardiovaskular.

Bentuk ATM ternyata memiliki aktivitas antioksidan yang lebih poten dibandingkan bentuk induknya. Hasil studi menunjukkan, hanya metabolit aktif ATM atorvastatin yang mampu menjaga formasi membran kolesterol dan menghambat stress oksidatif.

Dalam kondisi yang sama, statin lain (atorvastatin induk, pravastatin, dan rosuvastatin) tidak memiliki efek menghambat perubahan formasi kristal kolesterol. Kristal kolesterol juga tidak bisa dihambat oleh Trolox, tetapi secara efektif bisa dihambat oleh antioksidan sintetis, probucol. Penemuan ini mengindikasikan adanya efek ateroprotektif dari ATM pada membran lipid melalui mekanisme antioksidan yang poten.

Dalam mengintervensi pembentukan kristal kolesterol, ATM juga mampu mengurangi perubahan lebar membran akibat peroksidasi lipid. Hal ini mungkin merepresentasikan sifat ateroprotektif ATM terhadap formasi kristal kolesterol yang memberikan kontribusi pada proses kematian sel dan inflamasi. Karena begitu kristal tebentuk, maka krital ini tidak bisa dipecahkan dan tidak menunjukkan respon terhadap intervensi farmakologi. Oksidasi rantai fosfolipid akan memicu bentuk kolesterol dalam bentuk kristal, meskipun gelembung lipid mengandung kadar kolesterol normal bahkan rendah.

 

Kesimpulan:

            Metabolit aktif dari Atrovastatin(active o-hydroxy metabolite/ATM)memiliki potensi yang baik sebagai antioksidan dan sebagai penghambat HMG-CoA reductase sehingga mampu menjaga formasi  membran kolesteroldan menghambat stress oksidatif.

 

Daftar Pustaka

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=481

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=285

 

Metabolit Aktif Antihistamin H1 (Ceterizine)

Metabolit Aktif

Antihistamin H1 (Ceterizine)

 

Antihistamin H1 merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan di seluruh dunia. Dulu, antihistamin-H1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun, seiring perkembangan ilmu farmakologi molekular, antihistamin H1 lebih digolongkan sebagai inverse agonist daripada antagonis reseptor histamin H1.

Suatu obat disebut sebagai inverse agonist bila terikat dengan sisi reseptor yang sama dengan agonis, namun memberikan efek berlawanan. Jadi, obat ini memiliki aktivitas intrinsik (efikasi negatif) tanpa bertindak sebagai suatu ligan. Sedangkan suatu antagonis bekerja dengan bertindak sebagai ligan yang mengikat reseptor pada sisi yang ditempati agonis. Beda dengan inverse agonist, suatu antagonis sama sekali tidak berefek atau tidak mempunyai aktivitas intrinsik.

Penemuan antihistamin H1 yang lebih spesifik tersebut, bisa menjadi pertimbangan untuk pemberian obat secara tepat. Demikian juga dengan perkembangan identifikasi serta pengelompokkan antihistamin. Sebelumnya, antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.

Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.

Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit (desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.

Table 1. Indikasi Generasi  Pertama yang Diakui FDA

Drug Name

Batas Usia

 

Indikasi

Kategori Kehamilan

 

Azatadine

> 12 tahun

PAR, SAR, CU

B

Azelastine

> 3 tahun

PAR, SAR, VR, AC

C

Brompheniramine

> 6 tahun

AR, HR Type 1

C

Chlorpheniramine

> 2 tahun

AR

B

Clemastine

> 6 tahun

PAR, SAR, CU

B

Cyproheptadine

> 2 tahun

PAR, SAR, CU

B

Dexchlorpheniramine

> 2 tahun

PAR, SAR, CU

B

Hydroxyzine

Bisa diberikan < 6 tahun

Pruritus, sedasi, analgesia, anti-emetik

C

Promethazine

> 2 years old

HR Type 1, Sedation, Motion sickness, Analgesia

C

Tripelennamine

> 1 bulan

PAR, SAR, CU

B

*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CU = chronic urticaria, HR Type 1 = hypersensitivity reaction type 1, AR = allergic rhinitis, VMR = vasomotor rhinitis, AC = allergic conjunctivitis

Table 2. Indikasi Antihistamin Generasi II & III yang diakui FDA

Nama Obat

Batas Usia

Indikasi

Kategori Kehamilan

Cetirizine

> 2 tahun

PAR, SAR, CIU

B

Fexofenadine

> 6 tahun

SAR, CIU

C

Loratadine

> 2 tahun

SAR, CIU

B

Desloratadine

> 12 tahun

PAR, SAR, CIU

C

*PAR = perennial allergic rhinitis, SAR = seasonal allergic rhinitis, CIU = chronic idiopathic urticaria

             

 

Kontraindikasi

Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan  pasien tua. 

Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.

 

Efek Samping

Antihistamin Generasi Pertama:

  1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.
  2.  Kardiovaskular – hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia, trombosis

vena pada sisi injeksi (IV prometazin)

3. Sistem Saraf Pusat – drowsiness, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, fatigue, bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis tinggi

  1. Gastrointestinal – epigastric distress, anoreksi, rasa pahit (nasal spray)
  2. Genitourinari – urinary frequency, dysuria, urinary retention
  3. Respiratori – dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan nasal burning (nasal spray)

Antihistamin Generasi Kedua Dan Ketiga:

  1. Alergi – fotosensitivitas, shock anafilaksis, ruam, dan dermatitis.

2.   SSP* – mengantuk/ drowsiness, sakit kepala, fatigue, sedasi

3.   Respiratori** – mulut kering

4. Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine)

*Efek samping SSP sebanding dengan placebo pada uji klinis, kecuali cetirizine yang tampak lebih sedatif ketimbang placebo dan mungkin sama dengan generasi pertama. **Efek samping pada respiratori dan gastrointestinal lebih jarang dibanding generasi pertama.

 

 

 

Cetirizine

Merupakan antihistamin yang sangat kuat dan spesifik. Cetirizine merupakan antagonis reseptor histamin-1(H1) generasi kedua yang aman digunakan pada terapi alergi. Selain mempunyai efek antihistamin, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan kemotaksis sel inflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi molekul adhesi yang berperan dalam proses penarikan sel inflamasi.

Cetirizine merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor H1 generasi pertama yaitu hidroksizin. Efek samping yang dapat muncul yaitu somnolen yang bersifat dose-dependent, sakit kepala dan masalah saluran cerna. Efek sistem saraf pusat (SSP) dari antihistamin generasi memperpanjang interval QTc dibandingkan plasebo. Reseptor H1 tersebar luas di berbagai sel, seperti sel otot polos, sel endotel, sel mast, basofil dan eosinofil. Semua reseptor tersebut mudah dicapai dari sirkulasi darah. Oleh karena itu, antagonis reseptor H1 tidak memerlukan distribusi jaringan yang luas untuk aksi kerjanya. Pada sel mast dan basofil, hasil akhirnya adalah pelepasan mediator. Target antagonis H1 adalah reseptor eksternal, sehingga efek farmakologik dicapai tanpa penetrasi sel dan tidak memerlukan penembusan kedua jarang terjadi, dibandingkan dengan generasi pertama dan tidak berinteraksi dengan agen aktif lain di SSP seperti diazepam. Cetirizine juga tidak mempunyai efek samping terhadap hepar dan jantung.

Metabolit cetirizine tidak diolah di hepar dan diekskresi ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak berubah. Penggunaan cetirizine selama 7 hari tidak membran sel atau sitosol. Sebagian besar antagonis H1 tidak dapat melewati sawar darah otak, namun beberapa obat dengan liposolubilitas yang tinggi dapat melewati sawar tersebut. Dengan adanya volume distribusi yang rendah dari antagonis H1, maka penembusan sawar darah otak dapat diminimalisasi. Selain mempunyai efek antagonis terhadap reseptor H1, cetirizine juga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi cetirizine terutama ditunjukkan melalui penghambatan migrasi eosinofil (in vivo) ke lokasi kulit yang terstimulasi oleh alergen dan secara in vitro menghambat kemotaksis eosinofil dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi platelet, juga mempengaruhi platelet dan neutrofil.

Efek antiinflamasi cetirizine juga tercapai melalui penghambatan ekspresi ICAM-1 in vivo di nasal dan epitel konjungtiva selama inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di kulit, hidung, mata dan paru. Efek tersebut bukan disebabkan oleh kemampuan cetirizine menghambat efek histamin, karena histamin tidak menyebabkan ekspresi ICAM-1. Oleh karena itu, dalam hal ini efek cetirizine bukan merupakan efek antihistamin “klasik”, namun lebih menunjukkan efek antiinflamasi.

Pada suatu penelitian, didapatkan potensi loratadin dalam menghambat reaksi “wheal and flare” dan lama kerja merupakan dose-dependent. Namun, bila dibandingkan dengan cetirizine, loratadin membutuhkan dosis yang lebih besar dibandingkan cetirizine untuk memberikan efek yang sama, sehingga cetirizine mempunyai potensi sampai 6 kali lebih kuat dibandingkan loratadin. Hal ini juga berlaku apabila cetirizine dibandingkan dengan antihistamin generasi kedua lainnya. Perbedaan ini disebabkan oleh proses metabolisme. Komponen cetirizine tidak dimetabolisme di hati, sehingga efek terapetiknya tidak tergantung pada biotransformasi. Obat lain seperti terfenadine, secara cepat dimetabolisme di hati, dan hasil metabolit tersebut yang memberikan efek H1. Oleh karena itu, kemampuan metabolisme obat-obat tersebut sangat bervariasi di antara setiap orang.

 

Daftar Pustaka

Anonim, 2008, www.majalah-farmacia.com (diakses tanggal 12 Maret 2008)

Anonim, 2008, www.dexa-medica.com (diakses tanggal 12 Maret 2008)

Anonim, 2008, www.library.usu.ac.id (diakses tanggal 17 Maret 2008)

 

Disusun Oleh:

ARIF EKA SANTOSO (048114138)

ROSYE OCTAVYANI (058114058)

MARIA WIDIASTUTI DWI N (058114067)

LINNA FERAWATI GUNAWAN (058114070)