Category Archives: farmakokinetika klinik

Informasi terkait dosage regimen obat

Obat Antiinflamasi NonSteroid(OAINS) : KAFLAM (Natrium Diklofenak)

Obat Antiinflamasi NonSteroid(OAINS) :

KAFLAM (Natrium Diklofenak)

Disusun oleh :

Veronica Desi R (068114092)

Tania Gunawan (068114121)

Natrium Diklofenak

Farmakologi dan farmakokinetika

KAFLAM adalah obat antiinflamasi nonsteroid yang mengandung garam kalium dari diklofenak. Obat ini memiliki efek analgesic dan antiinflamasi.

Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis prostaglandin, mediator yang berperan penting dalam proses terjadinya inflamasi, nyeri dan demam. Kalium diklofenak akan diabsorbsi dengan cepat dan lengkap dan jumlah yang diabsorbsi tidak berkurang jika diberikan bersama dengan makanan. Kadar puncak obat dicapai dalam ½ -1 jam. Ikatan protein 99,7%, waktu paruh 1-2 jam. Pemberian dosis berulang tiidak menyebabkan akumulasi . eliminasi terutama melalui urin

Natrium diklofenak dalam bentuk CR/lepas-lambat terkendali adalah salah satu tekonologi yang dikembangkan untuk memperbaiki efikasi dan toleransi diklofenak. Pengembangan formulasi yang canggih dengan teknologi tinggi pada “drug delivery System” telah dilakukan oleh Klinge Pharma GmbH dan telah dipasarkan di Indonesia dengan nama Deflamat CR oleh PT. Actavis Indonesia. Deflamat CR (gabungan antara teknologi Enteric-Coated dengan Sustained-Release ) memiliki bentuk yang unik yaitu pelet CR dimana zak aktif terbagi dalam ratusan unit sferis kecil ( pelet) yang akan menjamin penyebaran yang baik dari zat aktif diseluruh saluran gastro-intestinal sehingga akan memperbaiki toleransi gastro-intestinal dari obat AINS

Selain itu, dengan ukuran partikel yang kecil, pelet bisa melintasi pilorus dengan cepat bersama kimus, dimana transportasi menuju doudenum tidak bergantung pada pengosongan lambung, sehingga waktu transit obat rata-rata lebih cepat dan dengan sistem pelepasannya yang terkendali, absorpsi yang cepat dan kontinyu memberikan kontribusi utama untuk memperbaiki bioavilabilitas obat AINS.

Beberapa studi klinis natrium diklofenak yang diberikan sebagai monoterapi atau kombinasi, menunjukkan obat ini efektif meredakan gejala osteoartritis (OA) maupun reumatoid artritis (RA). Studi yang dilakukan di Jerman terhadap 230 pasien menunjukkan, penggunaan diklofenak dalam sediaan gel untuk pasien osteoartritis pada lulut terbukti efektif dan aman untuk meredakan gejala osteoartritis pada lutut. Studi ini dimuat dalam Journal of Rheumatology

Indikasi

Sebagai pengobatan jangka pendek untuk kondisi-kondisi akut sebagai berikut:

Nyeri inflamasi setelah trauma seperti terkilir.

Nyeri dan inflamasi setelah operasi, seperti operasi gigi atau tulang.

Sebagai adjuvant pada nyeri inflamsi yang berat dari infeksi telinga, hidung, atau tenggorokan misalnya tonsilofaringitis, otitis.

Sesuai dengan prinsip pengobatan umum, penyakitnya sendiri harus diobati dengan terapi dasar. Demam sendiri bukan suatu indikasi.

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap zat aktif dan tukak lambung. Juga dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat tercetusnya serangan asma, urtikaria atau rhinitis akut akibat obat-obat anti nonsteroid lainnya

Peringatan dan perhatian

Hati-hati penggunaan pada penderita dekomposisi jantung atau hipertensi, karena diklofenak dapat menyebabkan retensi cairan dan edema.

– Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal, jantung, hati, penderita usia lanjut dan penderita dengan luka atau perdarahan pada saluran pencernaan.

– Hindarkan penggunaan pada penderita porfiria hati.

-Hati-hati penggunaan selama kehamilan karena diklofenak dapat menembus plasenta.
Diklofenak tidak dianjurkan untuk ibu menyusui karena diklofenak diekskresikan melalui ASI.
– Pada anak-anak efektivitas dan keamanannya belum diketahui dengan pasti.

Efek samping

Saluran pencernaan :

Kadang- kadang : nyeri epigastrum, gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare, kejang perut, dyspepsia, perut kembung, anoreksia.

Jarang : perdarahan saluran pencernaan ( hematemesis, melena, tukak lambung dengan atau tanpa perdarahan/ perforasi, diare berdarah )

Sangat jarang : gangguan usus bawah seperti “nonspesifik haemorrhagic colitis” dan eksaserbasi colitis ulseratif atau chron’s disease, stomatitis aphthosa, glositis, lesi esophagus, konstipasi.

Saluran saraf pusat dan perifer :

Kadang- kadang : sakit kepala, pusing, vertigo

Jarang : perasaan ngantuk

Sangat jarang : gangguan sensasi ternasuk parestesia, gangguan memori, disorientasi, gangguan penhlihatan ( blurred vision, diplopia ), gangguan pendengaran, tinnitus, insomnia, iritabilitas, kejang, depresi, kecemasan,mimpi buruk, tremor, reaksi psikotik, gangguan perubahan rasa.

Kulit

Kadang-kadang : ruam atau erupsi kulit

Jarang : urtikaria

Sangat jarang : erupsi bulosa , eksema, eritema multiforme, SSJ, lyell syndrome ( epidermolisis toksik akut ), eritrodema ( dermatitis exfoliatif ), rambut rontok, reaksi fotosensitivitas, purpura termasuk purpura alergik

Sistem urogenital, fungsi hati, darah, hipersensitivitas, susunan organ lainnya.

Interaksi obat

Apabila diberikan bersamaan dengan preparat yang mengandung lithium atau digoxin, kadar obat-obat tersebut dalam plasma meningkat tetapi tidak dijumpai adanya gejala kelebihan dosis.

Beberapa obat antiinflamasi nonsteroid dapat menghambat aktivitas dari diuretika. Pengobatan bersamaan dengan diuretika golongan hemat kalium mungkin mungkin disertai dengan kenaikan kadar kalium dalam serum.

Pemberian bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid sistemik dapat menambah terjadinya efek samping. Meskipun pada uji klinik diklofenak tidak mempengaruhi efek antikoagulan, sangat jarang dilaporkan adanya penambahan resiko perdarahan dengan kombinasi diklofenak dan antikoagulan, oleh karena itu dianjrkan untuk dilakukan pemantauan yang ketat terhadap pasien tersebut. Seperti dengan anti inflamasi nonsteroid lainnya, diklofenak dalam dosis tinggi (200 mg ) dapat menghambat agrregasi platelet untuk sementara.

Uji klinik memperlihatkan bahwa diklofenak dapat diberikan bersamaan dengan anti diabetic oral tanpa mempengaruhi efek klinis dari masing-masing obat. Sangat jarang dilaporkan efek hipoglikemik dan hiperglikemik dengan adanya diklofenak sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat-obat hipoglikemik. Perhatian harus diberikan bila antiinflamasi nonsteroid diberikan kurang dari 24 jam sebelum atau setelah pengobatan dengan methotrexate dalam darah dapat meningkat dan toksisitas dari pbat ini bertambah.

Penambahan nefrotoksisitas cyclosporine munkin terjadi oleh karena efek obat-obat antiinflamasi nonsteroid terhadap prostaglandin ginjal.

Dosis berlebih

Penanganan keracunan akut dengan antiinflamasi nonsteroid pada dasrnya dilakukan dengan tindakan supportif dan simptomatik. Tidak ada gambaran klinis yang khas dari dosis berlebih diklofenak. Tindakan pengobatan yang dilakukan dalam hal dosis berlebih adalah sebagai erikut : absorbs harus dicegah segera setelah dosis berlebih dengan pencucian lambungdan pengobatan dengan arang aktif. Pegobatan suportif dan simptomatik harus diberikan untuk komplikasi seperti hipotensi, gagal ginjal, kejang, iritasi saluran pencernaan dan depresi pernapasan. Tetapi spesifik seperti “ forced dieresis”, dialysis atau hemoperfusi mungkin tidak membantu menghilangkan antirematik non steroid karena jumlah ikatan protein yang tinggi.

Dosis

Umumnya takaran permulaan untuk dewasa 100-150 mg sehari. Pada kasus-kasus yang sedang , juga untuk anak-anak di atas usia 14 tahun 75-100 mg sehari pada umumnya sudah mencukupi.

Dosis seharian harus diberikan dengan dosis terbagi 2-3 kali

Tablet harus diberikan dengan air, sebaiknya sebelum makan, tidak dianjurkan untuk pemakaian anak-anak.

Daftar pustaka

Neal,M.J., 2006, Farmakologi Medis, 70-71, Erlangga, Jakarta

www.narod-sobe.cz/…/ChemPict.htm

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=181.

http://www.dechacare.com/Natrium-Diklofenak-P566.html

Cefepime sebagai Antibiotik Sefalosporin Generasi IV

Cefepime sebagai Antibiotik Sefalosporin Generasi IV

Yosafat reno ogata / 068114009

Andreas yulianto / 068114071

Cefepime adalah antibiotik injeksi sefalosporin generasi IV & merupakan suatu molekul zwitter ion. Zwitter ion merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Sebagai zwitter ion, cefepime mempunyai suatu muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi 3 dari inti cephem. Hal ini dikenal sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu zwitter ion ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime melalui membran luar bakteri gram negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan anion tertentu pada periplasma namun tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini. Modifikasi pada struktur inti cephem untuk menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan luas serta merupakan suatu potensi yang berharga untuk perawatan infeksi, baik oleh bakteri gram positif maupun gram negatif.

Farmakodinamik

Cefepime telah terbukti kemampuan bakterisidalnya melalui analisis time-kill (killing-curves) dan penentuan minimum bactericidal concentrations (MBC) pada berbagai jenis bakteri. Rasio MBC/MIC cefepime adalah < 2 untuk lebih dari 80% dari seluruh isolat spesies gram positif dan gram negatif yang diuji. Cefepime juga sinergis dengan aminoglikosida secara in vitro, terutama pada isolat Pseudomonas aeruginosa.

Berikut ini beberapa strain organisme yang sensitif terhadap cefepime:

Ø Aerob Gram-positif:

Staphylococcus aureus (termasuk strain penghasil beta-laktamase)

Staphylococcus epidermidis (termasuk strain penghasil beta-laktamase)

Staphylococci yang lain termasuk S. hominis, S. saprophyticus

Streptococcus pyogenes (Group A streptococci)

Streptococcus agalactiae (Group B streptococci)

Streptococcus pneumoniae (termasuk intermediate penicillin resistant strains dengan MIC penicillin 0,1 sampai 1 mcg/ml)

b-hemolytic streptococci lain (Group C. G, F), S. bovis (Group D), Viridans streptococci.

Ø Aerob Gram-negatif:

Acinetobacter calcoaceticus (subsp. anitratus. Iwoffi)

Citrobacter spp. termasuk C. diversus, C. treundii

Enterobacter spp. termasuk E. cloacae, E. aerogenes

Escherichia coli

Haemophilus influenzae (termasuk strain penghasil beta-laktamase)

Klebsiella spp. termasuk K. pneumoniae, K oxytoca, K. Ozaenae

Morganella morganii

Moraxella catarrhalis (Branhamella catarrhalis) termasuk strain penghasil beta laktamase

Neisseria meningitidis

Providencia spp., termasuk P. rettgeri. P. Stuartii

Pseudomonas spp., termasuk P. aeruginosa, P. putida, P. stutzeri

Salmonella spp.

Serratia termasuk S marcescens

Shigella spp.2

Farmakokinetik

Dari sisi farmakokinetik, konsentrasi cefepime terdistribusi luas pada berbagai jaringan & cairan tubuh yang spesifik sehingga ideal sebagai pilihan terapi empiris berbagai kasus infeksi seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel konsentrasi rata-rata cefepime di dalam berbagai jaringan (mcg/g) dan cairan tubuh (mcg/ml) pada laki-laki

JARINGAN ATAU CAIRAN TUBUH

DOSIS (IV)

WAKTU RATA-RATA DARI SAMPLE POST-DOSE (JAM)

KONSENTRASI RATA-RATA

Urin

500 mg

0-4

292

1 g

0-4

926

2 g

0-4

3,120

Empedu

2 g

9,4

17,8

Cairan peritoneal

2 g

4,4

18,3

Cairan lepuh

2 g

1,5

81,4

Mukosa bronkus

2 g

4,8

24,1

Sputum

2 g

4,0

7,4

Prostat

2 g

1,0

31,5

Apendiks

2 g

5,7

5,2

Kantung empedu

2 g

8,9

11,9

Berdasarkan luasnya spektrum bakteri dan distribusi cefepime pada berbagai jaringan dan cairan tubuh maka cefepime dapat diindikasikan pada kasus:

• Septikemia

• Pengobatan empiris pada pasien febrile neutropenia

• Infeksi saluran pernapasan bawah: pneumonia dan bronkopneumonia

• Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis) dan bawah dengan komplikasi

• Infeksi intraabdominal: peritonitis dan infeksi saluran empedu2

KONTRA INDIKASI Hipersensitif terhadap sefalosporin, penisilin, atau antibiotik β-laktam lainnya.

PERHATIAN Pseudomembran kolitis. Pemakaian jangka panjang. Anak < 13 tahun. Kehamilan & laktasi.

EFEK SAMPING Reaksi hipersensitif, gangguan gastrointestinal, nyeri dada, takikardi, batuk, sakit tenggorokan, dyspnea, sakit kepala, pusing, ansietas, kebingungan, reaksi lokal.

DOSIS

  • Dewasa

1 g IM / IV tiap 12 jam.

  • Infeksi saluran kemih ringan sampai sedang

500 mg- 1 g IV / IM tiap 12 jam.

  • Infeksi ringan sampai sedang selain infeksi saluran kemih

1 g IV / IM tiap 12 jam.

  • Infeksi berat

2 g IV tiap 12 jam.

  • Infeksi sangat berat sampai mengancam jiwa

2 g IV tiap 8 jam. Terapi selama: 7-10 hari atau lebih untuk infeksi berat.

Sumber pustaka

Dexa Media jurnal kedokteran dan farmasi no 2, vol 20 april-juni 2007

http://medicastore.com, diakses tanggal 19 Maret 2009

Farmakokinetika Klinik Cefepime,Cefalosprorin Generasi keempat

Maret 2009
Oleh : Ricky Hidayat (068114123)
Felix Manuel (068114136)
Jeffry Ben Martin (068114158)
Cefepime merupakan antibiotik dari kelas beta-lactam. Cefepime merupakan generasi keempat dari cephalosporin dan merupakan suatu molekul zwitter ion. Kebanyakan turunan semisintetik dan strukturnya berhubungan dengan analog rumus bangunnya yang telah diidentifikasi sebagai dasar molekul cephalosporin (7-aminocephalosporanic acid), yang terdiri dari suatu cincin hexagonal (dihydrothiaziolidine) yang dipadukan ke dalam cincin betalactam. Molekul dasar ini adalah sebagai inti cephem. Penggantian pada posisi 3 dan 7 telah dibuat untuk meningkatkan spektrum antimikrobial dan sifat farmakokinetik dari cephalosporins.
Cefepime mirip generasi ketiga aminothiazole cephalosporins di mana di dalamnya mempunyai suatu gugus aminothiazolyl-methoxyimino pada posisi 7 inti cephem. Gugus ini akan mempengaruhi stabilitas dari beta-lactamase dan peningkatan aktivitas terhadap gram-negatif. Zwitter ion merupakan suatu ion dipolar yang tidak mempunyai muatan. Sebagai zwitter ion, cefepime mempunyai suatu muatan negatif pada posisi 4 pada inti cephalosporin dan suatu substituen yang mengandung nitrogen kuartener (muatan positif) pada posisi 3 dari inti cephem. Hal ini dikenal sebagai bullet-shaped. Konfigurasi tertentu zwitter ion ini bertanggung jawab untuk penetrasi yang cepat dari cefepime melalui membran luar bakteri gram negatif dan sebagai salah satu kunci dari potensi antibakterialnya. Hal ini dibuktikan dari terjadinya penetrasi sel yang cepat, disebabkan dari efek penolakan anion tertentu pada periplasma namun tidak terjadi pada campuran ion dipolar ini.
Modifikasi pada struktur inti cephem untuk menghasilkan cefepime menciptakan suatu antibiotik dengan suatu spektrum antimikrobial yang seimbang dan luas serta merupakan suatu potensi yang berharga untuk perawatan infeksi, baik oleh bakteri gram positif maupun gram negatif.

Struktur Cefepime
<img src=”Cefepime” alt=”Cepefime” />
(6R,7R,Z)-7-(2-(2-aminothiazol-4-yl)-2-(methoxyimino)acetamido)-3-((1-methylpyrrolidinium-1-yl)methyl)-8-oxo-5-thia-1-aza-bicyclo[4.2.0]oct-2-ene-2-carboxylate
Rumus molekul C19H24N6O5S2
BM : 480.56 g/mol
<img src=”Cefalosporine” alt=”Cefalosporine” />
Struktur umum golongan cefalosporin
Farmakodinamik
Cefepime telah terbukti kemampuan bakterisidalnya melalui analisis time-kill (killing-curves) dan penentuan minimum bactericidal concentrations (MBC) pada berbagai jenis bakteri. Rasio MBC/MIC cefepime adalah < 2 untuk lebih dari 80% dari seluruh isolat spesies gram positif dan gram negatif yang diuji. Cefepime juga sinergis dengan aminoglikosida secara in vitro, terutama pada isolat Pseudomonas aeruginosa. Berikut ini beberapa strain organisme yang sensitif terhadap cefepime:
Aerob Gram-positif:
· Staphylococcus aureus (termasuk strain penghasil beta-laktamase)
· Staphylococcus epidermidis (termasuk strain penghasil beta-laktamase)
· Staphylococci yang lain termasuk S. hominis, S.saprophyticus
· Streptococcus pyogenes (Group A streptococci)
· Streptococcus agalactiae (Group B streptococci)
· Streptococcus pneumoniae (termasuk intermediate penicillin resistant strains dengan IC penicillin 0,1 sampai 1 mcg/ml)
· b-hemolytic streptococci lain (Group C. G, F), S. bovis (Group D), Viridans streptococci.
Aerob Gram-negatif:
· Acinetobacter calcoaceticus (subsp. anitratus. Iwoffi)
· Citrobacter spp. termasuk C. diversus, C. treundii
· Enterobacter spp. termasuk E. cloacae, E. aerogenes
· Escherichia coli
· Haemophilus influenzae (termasuk strain penghasil beta-laktamase)
· Klebsiella spp. termasuk K. pneumoniae, K oxytoca, K. ozaenae
· Morganella morganii
· Moraxella catarrhalis (Branhamella catarrhalis) termasuk strain penghasil beta-laktamase
· Neisseria meningitidis
· Providencia spp., termasuk P. rettgeri. P. stuartii
· Pseudomonas spp., termasuk P. aeruginosa, P. putida, P. stutzeri
· Salmonella spp.
· Serratia termasuk S marcescens
· Shigella spp.
Farmakokinetik
Dari sisi farmakokinetik, konsentrasi cefepime terdistribusi luas pada berbagai jaringan & cairan tubuh yang spesifik sehingga ideal sebagai pilihan terapi empiris berbagai kasus infeksi seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel konsentrasi rata-rata cefepime di dalam berbagai jaringan (mcg/g) dan cairan tubuh (mcg/ml) pada lakilaki dewasa normal
<img src=”Tabel” alt=”Tabel” />
Berdasarkan luasnya spektrum bakteri dan distribusi cefepime pada berbagai jaringan dan cairan tubuh maka cefepime dapat diindikasikan pada kasus:
· Septikemia
· Pengobatan empiris pada pasien febrile neutropenia
· Infeksi saluran pernapasan bawah: pneumonia dan bronkopneumonia
· Infeksi saluran kemih bagian atas (pyelonephritis) dan bawah dengan komplikasi
· Infeksi intraabdominal: peritonitis dan infeksi saluran empedu
Dosis :
Dewasa 1 gram I.M / I.V tiap 12 jam
Infeksi saluran kemih ringan sampai sedang 500mg-1g I.M / I.V tiap 12 jam
Infeksi ringan sampai sedang selain infeksi saluran kemih 1g I.M / I.V tiap 12 jam
Infeksi berat 2g I.V tiap 12 jam
Infeksi sangat berat sampai mengancam jiwa 2g I.V tiap 8 jam

Beberapa nilai Farmakokinetik Cefepime adalah sebagai berikut :
Bioavailabilitas : 100% (IM)
Metabolisme : Hepatik 15%
Waktu Paruh : 2 hours
Ekskresi : Renal 70–99%

Daftar pustaka

Click to access publication_upload070604306550001180931354dexa%20media%20edisi%20april%20-%20jun%202007.pdf

http://en.wikipedia.org/wiki/Cefepime
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Cephalosporin_core_structure.svg
Maret 2009
Oleh : Ricky Hidayat (068114123)
Felix Manuel (068114136)
Jeffry Ben Martin (068114158)

PERTIMBANGAN TERAPI PADA GERIATRI (LANJUT USIA)

PERTIMBANGAN TERAPI PADA GERIATRI (LANJUT USIA)

Disusun Oleh :

1. Floriberta Yoaquin Intan (068114033)

2. Heny Sulistyaningsih (068114034)

Periode: Maret 2009

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Boedi, 2006)

Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).

Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).

KONSEP DASAR PEMAKAIAN OBAT

Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat

· Diagnosis dan patofisiologi penyakit

· Kondisi organ tubuh

· Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)

Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia lanjut :

1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya

2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya

3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa yang masih muda.

4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah.

5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien

6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

FARMAKOKINETIK

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).

Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.

Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan (uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.

Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi, kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).

INTERAKSI FARMAKOKINETIK

1. Fungsi Ginjal

Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).

Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.

Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.

2. Fungsi Hati

Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.

First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.

Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)

INTERAKSI FARMAKODINAMIK

Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis “normal” dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang terlalu besar) pada lansia.

Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri), http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-geriatri.html

,diakses 14 Maret 2009

Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. Diakses tanggal 14 Maret 2009

Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB. Bandung

Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Jakarta

Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut. Diakses tanggal 14 Maret 2009

Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius, Jakarta.


Sediaan Time Delays Kaptopril dan Propanolol HCl

Sediaan Time Delays Kaptopril dan Propanolol HCl

( MARET 2009 )

Oleh:

Esti Nugraheni (068114124) dan Fidela Antonisca Nitasari (068114131)

Pendahuluan

Kaptoril dan Propanolol HCl merupakan contoh dari sekian banyak obat hipertensi yang beredar di pasaran. Sediaan time delays (lepas lambat) ini akan membuat bioavailibilitas kaptopril dan propanolol HCl lebih baik. Dalam arti ketersediaan hayati atau kadar obat dalam plasma lebih baik daripada penggunaan obat konvensional dan juga meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan karena mempengaruhi regimen dosis.

Kaptopril adalah senyawa aktif yang berfungsi sebagai inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) yang banyak digunakan untuk pengobatan gagal jantung dan hipertensi karena efektif dan toksisitasnya rendah. Sedangkan Propanolol HCl merupakan senyawa pemblok reseptor beta non-selektif dalam pengobatan hipertensi.

Dosis:

Kaptopril (oral)

Dewasa: dosis awal:12,5-25 mg 2-3 kali sehari, ditingkatkan tiap 12,5-25 mg pada minggu 1-2 hingga 50 mg 3 kali sehari, dosis maksimum 150 mg 3 kali sehari.

Propanolol (oral)

Untuk hipertensi, dosis awal 80 mg 2 kali sehari, tingkatan pada interval mingguan bila perlu, dosis pemeliharaan 160-320mg sehari. Hipertensi portal, dosis awal 40 mg 2 kali sehari, tingkatkan sampai 80 mg 2 kali sehari sesuai dengan frekuensi jantung, maksimal 160 mg 2 kali sehari.

Hipertensi ??

Penyakit darah tinggi (Hipertensi) adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada pemeriksaan tensi darah. Hipertensi dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Nilai normal tekanan darah seseorang adalah 120/80 mmHG. Seseorang dikatakan hipertensi jika tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmHG (batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa di atas 18 tahun).

Mengapa kaptopril dan propanolol HCl dibuat lepas lambat??

Obat-obat untuk hipertensi harus mempunyai bioavalibilitas yang baik di dalam tubuh agar tekanan darah tetap berada dalam range normal. Untuk itu kadar obat hipertensi di dalam plasma harus berada dalam jendela terapetik. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuatlah sediaan lepas lambat dari kaptopril dan propanolol.

Obat peroral dibuat sediaan lepas lambat di lambung cocok bila untuk aksi lokal di lambung, absorbsi baik dilambung, tidak stabil dan terdegradasi didalam saluran intestinal/ kolon, kelarutannya rendah pada pH tinggi, dapat diabsorbsi secara cepat dilambung, dan memiliki rentang absorbsi yang sempit.

Kaptopril sendiri memiliki sifat seperti diatas dan waktu paruhnya singkat sehingga cocok untuk dibuat sediaan tablet lepas lambat. Pengembangan tablet kaptopril lepas lambat akan memberikan beberapa keuntungan kepada pasien yang perlu mengkonsumsi obat ini secara berkesinambungan dalam waktu yang cukup lama. Beberapa keuntungan tersebut antara lain pengurangan frekuensi pemberian obat dan mengurangi fluktuasi konsentrasi obat dalam darah sehingga menurunkan resiko efek samping. Kaptopril stabil pada kondisi suhu dan kelembaban normal, namun dalam larutan gugus tiolnya akan teroksidasi menjadi kaptopril disulfida. Karena sifatnya yang mudah larut dalam air dan mudah teroksidasi pada pH usus, perlu diperhatikan strategi pengembangan tablet kaptopril lepas lambat yang cukup kuat menahan pelepasan obat dan dapat bertahan dalam lambung dalam waktu yang cukup lama. Kaptopril diabsorbsi di lambung dan bagian proksimal usus halus secara pasif dan sebagian lagi diabsorpsi dengan bantuan peptida, sementara lebih dari 40 % dieliminasi dalam bentuk kaptopril utuh melalui urine.

Sedangkan Propanolol HCl mempunyai waktu paruh eliminasi pendek sekitar 3 jam. Dengan waktu eliminasi yang pendek memungkinkan propanolol HCl dibuat sediaan lepas lambat. Untuk mengurangi frekuensi pemberian, meningkatkan kenyamanan pasien dan menjaga konsentrasi obat dalam darah tetap dalam jendela terapeutik, dapat dilakukan dengan memberikan sediaan lepas lambat dan terkontrol yang bekerja dengan mengontrol pelepasan obat.

Bagaimana profil disolusi Propanolol HCl dan Kaptopril dalam time delays??

Profil disolusi Kaptopril



Sumber: Asyarie, S. (ITB)

Keterangan:

F1, F2, F3, F4, dan F5 merupakan formula Time Delays. Formula 5 merupakan formula Time Delays yang paling baik karena memberikan profil pelepasan obat yang paling baik dengan komposisi formula Natrium .alagrinat 40% dan Gom xanthan 30%.

Profil disolusi Propanolol HCl


Sumber: Saifullah (UGM)

Keterangan: Grafik diatas merupakan grafik lepas lambat beberapa optimasi formula Propanolol HCl dengan menggunakan matriks methocel K15M dengan system floating. Diketahui bahwa formula yang paling baik adalah formula 4 karena mendekati kecepatan disolusi yang diinginkan dalam percobaan.

Kesimpulan

Dengan dibuatnya Kaptopril dan Propanolol HCl dalam bentuk sediaan lepas lambat maka akan mempengaruhi regimen dosis terutama pada how often. Obat dalam bentuk lepas lambat akan dilepaskan secara bertahap sehingga frekuensi penggunaan obat pada pasien dapat berkurang. Hal ini akan meningkatkan kepatuhan pasien.

Daftar Pustaka

Anonim, 2008, Hipertensi, http://www.conectique.com/tips_solution/health/disease/article.php?article_id=4883

Anonim, 2009, Penyakit Darah Tinggi (Hipertensi), http://www.infopenyakit.com/2008/01/penyakit-darah-tinggi-hipertensi.html

Saifullah, dkk, 2007, Profil pelepasan propanolol HCl dari tablet lepas lambat dengan sistem floating menggunakan matriks methocel K15M, diakses dari http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/8._18-1-2007-TN_Saifullah.pdf

Asyarie, dkk, 2007, Formula tablet kaptopril lepas lambat dengan matriks pautan silang alginate, diakses dari http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/6._18-1-2007-sukmadjaja.pdf

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan

Lacy, C.F,et.al., 2006, Drug Informatorium Handbook, 14th Edition, Lexi-Comp, American Pharmacists Association

DISTRIBUSI METRONIDAZOL PADA JARINGAN OTOT PASIEN PENDERITA SYOCK SEPTIC

Oleh :

Fransisca Tri Kusuma Dewi (068114156)

Maria Mudengsia Gaguk (068114157)

Maria Murnian lestari (068114159)

Syok septic (septic shock) adalah suatu kondisi medis yang serius yang disebabkan oleh menurunnya perfusi jaringan dan penghantaran oksigen sebagai akibat terjadinya infeksi atau sepsis, keberadaan mikroba dapat bersifat sistemik atau terlokalisasi pada tempat tertentu dalam jaringan. Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman gram negative yang menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman.

Infeksi sepsis sepsis yang parah kegagalan multiorgan

Beberapa penyakit yang beresiko terhadap terjadinya syok septic adalah:

· Diabetes

· Penyakit saluran kencing, system intestinal, system biliary (empedu)

· Penyakit yang melemahkan system imun, misal AIDS

· Pasien yang menggunaan kateter urin dan pasien dengan infuse iv (iv drip).

· Leukemia, lymphoma, penggunaan antibiotic jangka panjang, pemakaian obat steroid, luka yang ada hubungannya dengan pembedahan/luka bakar/luka tembak.

· Pasien dengan ketergantungan alcohol dan obat.

Metronidazol dikenal sebagai obat antimikroba yang secara luas digunakan untuk profilaxis dan terapi karena infeksi anaerob. Konsentrasi maximum dalam darah dicapai dalam waktu 1 jam setelah pemberian. Tersedia dalam bentuk tablet 250 dan 500 mg, suspensi 125mg/5 ml dan tablet vaginal 500 mg. Untuk amobiasis dosis oral yang digunakan adalah 3×750 mg/hari selama 5-10 hari, Sedangkan untuk anak 35-50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis. Metronidazol diekskresi bersama urin dalam bentuk utuh sebagai hasil oksidasi maupun konjugasi glukotonida.

Absorbsi metronidazole berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral. 1 jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10 μg/ml. Umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitif, rata-rata diperlukan kadar tidak lebih dari 8 μg/ml. Waktu paruh berkisar 8-10 jam. Obat diekskresi melalui urin, urin mungkin berwarna gelap karena mengandung pigmen yang larut air.

Untuk dapat mendiskripsikan profil farmakokinetika metronidazol maka dilakukan dengan menggunakan teknik mikrodialisis jaringan otot pada pasien dengan syok septic. J. Karjagin dkk. memilih subyek uji adalah pasien ruang ICU klinik Universitas Tartu yang oleh American College of Chest Physicians didiagnosis menderita syok septic. Adapun criteria inklusi uji klinik ini adalah pasien berkelamin laki-laki, memiliki berat badan antara 70 – 95 kg, rata-rata BMI = 25,8 (pada kisaran 22,9 – 31), berumur antara 32 – 69 tahun. Pasien dengan terapi metronidazol dalam waktu 48 jam sebelum uji klinik dilakukan tidak dipilih. Penyebab syok septic dari keenam pasien tersebut adalah 2 kasus karena bronkopneumonia, 2 kasus peritonitis dari purulent cholecystitis dan perforasi kolonik, 1 kasus urosepsis dan 1 kasus phlegmon lengan dan bahu.Obat metronidazol diberikan secara iv dengan dosis 500 mg.

Penelitian ini menggunakan kateter mikrodialisis yang dipasang pada m. vastus lateralis tepat di atas lutut. Setelah selang waktu 10 menit dari pemberian metronidazole 500 mg secara infus iv dilakukan pengambilan sample sebanyak 6 ml. Pengambilan sample dilakukan pada jam ke 0 dan ½, ½ dan 1, 1 dan 1 ½, 1 ½ dan 2, 2 dan 2 ½, 2 ½ dan 3, 3 dan 4, 4 dan 5, 5 dan 6, 6 dan 7, 7 dan 8, 8 dan 9, 9 dan 10. Sampel-sampel ini secepatnya disimpan dalam kondisi dingin bersuhu –20°C sampai saatnya dianalisis. Analisis metronidazol menggunakan metode HPLC dengan prekolom Lichrosorb RP-18, suhu kolom 23–25°C, fase geraknya adalah acetonitril/0,01 M larutan fosfat ((NaH2PO4) dengan perbandingan 15:85 yang dialirkan dengan kecepatan 0,7 ml/menit.

Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung % recovery dan perkiraan besarnya konsentrasi metronidazole pada jaringan otot.

Recovery (%) = 100–(konsentrasidialysate/konsentrasiperfusate)x100

Konsentrasi (mg/L) = (koncentrationdialysatex100)/ recovery

Profil farmakokinetik yakni Vss, t1/2, CL and AUC0–10 dihitung berdasar model 2 kompartemen, sedang t1/2 pada jaringan otot dengan model non-kompartemen. Rasio AUC0–10 otot/AUC0–10 plasma digunakan untuk memperkirakan jumlah metronidazol yang berpenetrasi ke jaringan otot. Profil farmakokinetika distribusi metronidazol pada pasien syok septic adalah sebagai berikut:

Gb 1. Hubungan t vs konsentrasi metronidazol di dalam plasma dan otot setelah pemberian 500 mg secara iv. Grafik (a) adalah t vs metronidazol di dalam plasma, (b) jaringan otot, grafik (c) t rata-rata dalam plasma, jaringan otot dan standard deviasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2009, Metronidazole, http://www.dechacare.com/Metronidazole-250-mg-P583.html, diakses tanggal 12 maret 2009.

Anonim,2009, Sekilas tentang patofisiologi syok, www.svhie.com, diakses tanggal 18 Maret 2009

Anonim, 2009, Sepsis shock-overview, www.umm.edu/ency/article/000668.htm, diakses tanggal 18 maret 2009.

Anonim, 2009, Understanding sepsis, http;/ www.sepsis.com, diakses tanggal 18 Maret 2009.

Karjagin, I.,dkk, 2005, DistributionMetronidazole in muscletisue of patients with septic shockand its efficacy against bakteroides fragilis in vitro, jornal of antimicrobial Chemotherapy

CIMETIDIN DAN RANITIDIN

CIMETIDIN DAN RANITIDIN

Yemima Hariyono (068114160)
Kaesariana Esti Limasari (068114166)

Cimetidine struktur

struktur Cimetidin

Ranitidin struktur

struktur Ranitidin

Cimetidin dan Ranitidin merupakan antihistamin paenghambat reseptor Histamin H2 yang berperan dalam efek histamine terhadap sekresi cairan lambung. Berdasarkan dari mekanisme kerja kedua obat tersebut kita akan melihat profil dari masing-masing obat tersebut.

FARMAKODINAMIK
Cimetidin dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga pada pemberian Cimetidin dan ranitidine sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin dan ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.walaupun tidak lengkap cimetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat muskarinik atau gastrin. Cimetidin dan ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.

FARMAKOKINETIKA
Cimetidin
Bioavailabilitas cimetidin sekitar 70 % sama dengan pemberian IV atau Im ikatan protein plasma hanya 20 %.Absorbsi simetidin diperlambat oleh makanan sehingga cimetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode paska makan. Absorpsi terutama terjadi pada menit ke 60 -90. Cimetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam.
Ranitidine
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar pada ginjal.Pada ginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens kreatinin 25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15 %. Ranitidine mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah yang cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30 % yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.

INTERAKSI OBAT
Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, sehingga obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama Cimetidin. Contohnya: warfarin, fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin. Simetidin dapat menghambat alkhohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan alkohol serum. Obat ini tak tercampurkan dengan barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal.
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin. Nifedin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga menghambat absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang waktu minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan , karena lebih sukar melewati sawar darah otak dibanding simetidin.
INDIKASI
Keduanya digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui secara jelas.
Efek penghambatannya selama 24 jam, Cimetidin 1000 mg/hari menyebabkan penurunan kira-kira 50% dan Ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi asam lambung; sedangkan terhadap sekresi malam hari, masing-masing menyebabkan penghambatan 70% dan 90%.

Daftar Pustaka
Ganiswarna,Sulistia G., 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
Lacy, Charles F., 2006, Drug Information Handbook, 14th edition, Lexicomp, North American

Daftar Gambar

Pengaruh Bentuk Rasemik Suatu Obat Terhadap Efeknya Dalam Tubuh

Pengaruh Bentuk Rasemik Suatu Obat Terhadap Efeknya Dalam Tubuh

Oleh :
Melissa (06 8114 093) dan Helen Tanujaya (06 8114 133)

Konsentrasi obat dalam plasma tidak selalu berkolerasi terhadap efeknya dalam tubuh manusia. Ada beberapapa obat yang walaupun kadarny dalam plasma tinggi namun tidak disertai peningkatan efek obat dalam tubuh. Hal ini dapat dipengaruhi salah satunya karena bentuk campuran rasemiknya.

Melihat fakta di atas stereokimia (struktur ruang) suatu senyawa organik mutlak harus diperhitungkan dalam reaksi-reaksi biologis makhluk hidup. Sayangnya sulit sekali menghasilkan suatu enantiomer atau diastereoisomer murni. Bahkan 90 persen obat-obat sintetik yang mengandung senyawa kiral masih dipasarkan dalam kondisi rasemik sampai awal 1990-an.

Campuran rasemik artinya suatu campuran yang mengandung sepasang enantiomer dalam jumlah yang sama. Sepasang enentiomer itu adalah enantiomer R dan enentiomer S. Prinsip dasar isomer optik yaitu:

1. Sepasang enantiomer memiliki sifat-sifat fisika (titik didih, kelarutan, dan lain-lain) yang sama tetapi berbeda dalam arah rotasi polarimeter dan interaksi dengan zat kiral lainnya.
2. Sepasang diastereoisomer memiliki sifat-sifat fisika dan sudut rotasi polarimeter yang berbeda satu sama lain. Bahkan sering dalam bereaksi mengambil cara yang berlainan. Artinya kita bisa memisahkan campuran dua diastereoisomer dengan cara-cara fisika (destilasi, kristalisasi, dan lain-lain). Akan tetapi tidak bisa memisahkan campuran dua enantiomer dengan cara-cara fisika, karena sepasang enantiomer memiliki properti fisika yang sama. Kesimpulannya, kita dapat dengan mudah memisahkan campuran dua diastereoisomer, tapi akan kesulitan memisahkan campuran dua enantiomer.

Sebagian masyarakat mungkin kurang memperhatikan sifat optis suatu senyawa organik, padahal reaksi kimia dalam sistem biologis makhluk hidup sangat stereospesifik. Artinya suatu stereoisomer akan menjalani reaksi yang berbeda dengan stereoisomer pasangannya dalam sistem biologis makhluk hidup. Bahkan terkadang suatu stereoisomer akan menghasilkan produk yang berbeda dengan stereoisomer pasangannya dalam sistem biologis makhluk hidup.

Beberapa obat yang beredar dalam bentuk campuran rasemik Contohnya adalah:
1. ObatThalidomide
Obat ini dipasarkan di Eropa sekira tahun 1959-1962 sebagai obat penenang. Obat ini memiliki dua enantiomer, di mana enantiomer yang berguna sebagai obat penenang adalah (R)-Thalidomide. Tetapi ibu hamil yang mengonsumsi enantiomernya yaitu (S)-Thalidomide justru mengalami masalah dengan pertumbuhan anggota tubuh janinnya. Sedikitnya terjadi 2000 kasus kelahiran bayi cacat pada tahun 1960-an. Hal ini merupakan tragedi besar yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah obat-obat kiral.
2. Nikotin
(-)Nikotin dilaporkan lebih beracun dan berbahaya dibandingkan dengan (+)Nikotin. Tanda “+” menyatakan arah rotasi polarimeter sesuai arah jarum jam, sedangkan tanda “-” menyatakan arah rotasi polarimeter berlawanan arah jarum jam.
3. Tiroksin
Tiroksin adalah hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid. (-) Tiroksin meregulasi metabolisme tubuh, sedangkan (+) Tiroksin tidak menghasilkan efek regulasi apa pun.
4. Epinefrin
Epinefrin rasemik merupakan campuran 1:1 d-isomer dan l-isomer epinefrin. Mekanisme aksi epinefrin adalah pada reseptor a adrenergik; terbukti menyebabkan vasokonstriksi dan mengurangi udem. Pengurangan udem mukosa larings akan meningkatkan diameter jalan nafas sehingga stridor inspirasi dan retraksi akan berkurang.
L-Epinephrine itu sedikitnya sama efektif seperti epinephrine racemic dalam perawatan laryngotracheitis dan tidak membawa resiko / efek samping tambahan. L-Epinephrine juga lebih tersedia di seluruh dunia, lebih murah, dan dapat direkomendasikan untuk mengobati laryngotracheitis.
Aktivitas biologi dari dextro(+) enansiomer adrenergic agonists (epinefrin) diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan levo(—) enantiomernya.
Epinefrin rasemik baik untuk mengobati croup derajat sedang dan berat. Penderita yang telah diterapi dengan epinefrin rasemik aman untuk dipulangkan jika dalam 3 jam, tidak terdapat stridor saat istirahat, udara yang masuk normal, kesadaran baik atau jika skor croup <2.

5. Tramadol
Tramadol HCl adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat. Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga menghentikan sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri.

Tramadol merupakan campuran rasemik 1:1 dari 2 enantiomer, Enantiomer (+) tramadol and Enantiomer (-) nya memiliki potensi berbeda terhadap reseptor opioid dan sisi monoamine uptake (Raffa et al., 1993). Enantiomer ( ) tramadol secara cepat termetabolit menjadi mono-O-desmethyltramadol (M1 metabolite ) yang juga berikatan dengan reseptor opioid (Raffa et al., 1995; Gibson, 1996).

• Enantiomer ( + ) kira-kira empat kali lebih kuat dibanding kemampuan enantiomer ( – ) dalam hal afinitas terhadap reseptor u-opioid dan pengambilan kembali ( reuptake ) 5-HT.
• Enantiomer (-) menghambat reuptake norepinephrine dengan menstimulasi reseptor alpha(2)-adrenergic (Goeringer et al., 1997).

Aksi ini nampak untuk menghasilkan satu efek analgesik sinergis, dengan enantiomer (+) dari tramadol yang memperlihatkan aktivitas analgesik 10 fold lebih tinggi dibanding enantiomer (-)nya. Enantiomer (-) menghambat reuptake norepinephrine dengan menstimulasi reseptor alpha(2)-adrenergic (Goeringer et al., 1997). Enantiomer (-) tramadol ternyata kira-kira 5-kali lebih kuat untuk menghambat noradrenaline daripada asupan serotonin (IC50 1,6 µmol/L vs 8,6 µmol/L) dan sebaliknya lah yang terjadi untuk Enantiomer (+)nya. Kedua enantiomer diberikan pada aksi analgesik tramadol.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.aaps.org,
http://forums.studentdoctor.net/archive/index.php/t-318053.html

Click to access 1299.pdf

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05_163Croup.pdf/05_163Croup.html
http://www.kimianet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1111012990

PELEPASAN ZAT AKTIF OBAT

Felisita Anesti Kusumastuti (068114084)

Nyoman Valida Lendra (068114086)

MARET 2009

Pengembangan teknologi formulasi baru pada dua dekade terakhir banyak ditekankan pada pengembangan bentuk sediaan obat yang dapat melepaskan obat secara terkontrol. Salah satu di antaranya adalah pengembangan bentuk sediaan obat yang, didisain untuk meningkatkan durasi aksi obat yang terkandung di dalamnya. Beberapa jenis bentuk sediaan obat yang dikembangkan untuk maksud ini adalah:

Ø Sediaan pelepasan lambat

Ø Sediaan aksi diperpanjang

Ø Sediaan aksi berulang

Ketiga jenis sediaan di atas dapat dibedakan sebagai berikut :

q Sediaan pelepasan lambat

Obat dalam sediaan pelepasan lambat mempunyai sistem pelepasan obat yang unik, yaitu mula-mula dilepaskan kira-kira separuh dari dosis total yang merupakan dosis inisial, kemudian diikuti dengan pelepasan sisa obat secara bertahap dan seragam selama periode waktu tertentu. Tujuan sediaan ini adalah untuk memperoleh kadar terapeutik obat dalam darah dengan cepat, dan mempertahankan kadar tersebut selama periode waktu tertentu.

q Sediaan aksi diperpanjang

Sediaan ini melepaskan obat dengan laju pelepasan tertentu, yang dapat menghasilkan durasi aksi obat yang lebih panjang dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal yang normal. Sediaan ini berbeda dengan sediaan pelepasan lambat yaitu tidak adanya dosis inisial.

q Sediaan aksi berulang

Sediaan aksi berulang didesain untuk melepaskan dengan segera satu dosis tunggal, kemudian diikuti dengan pelepasan dosis tunggal kedua, ketiga dan selanjutnya setelah interval waktu tertentu. Keuntungan utama dari sediaan ini adalah berkurangnya frekuensi pemberian obat. Tetapi kadar obat dalam darah sama dengan pemberian obat secara intermiten dengan dosis tunggal. Sediaan pelepasan lambat didesain untuk memberikan kadar obat dalam darah yang adekuat selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan keuntungan -keuntungan klinik, yaitu :

1. Meningkatkan hasil terapi obat, berupa peningkatan efektivitas dan penurunan efek samping serta efek toksik obat

2. Meningkatkan kepatuhan penderita dengan aturan dosis yang lebih menyenangkan karena interval dosis yang lebih panjang maka pasien tidak akan mengalami gangguan waktu tidur.

3. Untuk obat tertentu, dari segi ekonomi dapat diperoleh penghematan biaya pengobatan karena dosis tunggal obat lepas lambat akan lebih murah dibandingkan obat dengan dosis yang sebanding yang pemberiannya dengan dosis berganda.

4. Memberikan kadar obat dalam darah yang konstan / berkelanjutan, sehingga menghasilkan respon klinis yang lebih panjang dan konsistensi pada pasien.Kadar obat dalam darah tidak mengalami fluktuasi antara suatu nilai maksimum dan minimum seperti yang terjadi pada pemberian dosis berganda.

Tetapi di samping keuntungan-keuntungan di atas, ada pula kerugian-kerugian dalam pemakaian sediaan pelepasan lambat yaitu:

ü tidak adanya fleksibilitas aturan dosis

ü untuk beberapa obat harganya semakin mahal oleh karena penerapan teknologi yang tinggi

ü adanya risiko over dosis

ü Bila pasien mengalami efek samping obat yang merugikan atau tiba-tiba mengalami efek toksik, maka pembersihan atau pembuangan obat dari sistem sirkulasi akan lebih sulit bila dibandingkan produk biasa.Dengan jalur pemberian oral, dapat terjadi variabilitas dalam proses absorbsi obat yang disebabkan oleh interaksi obat dengan bahan-bahan yang ada dalam saluran cerna dan karena perubahan motilitas saluran cerna.

ü Dosis dalam obat-obat lepas lambat biasanya sangat besar (>500 mg) menyebabkan kesulitan dalam metode pembuatan bentuk sediaan. Dosis yang besar akan membutuhkan bentuk sediaan dengan ukuran yang cukup besar yang sulit untuk ditelan.Kesalahan dalam bentuk sediaan lepas lambat akan menimbulkan Dose Dumping yaitu pelepasan fraksi obat yang lebih dari biasanya atau kecepatan pelepasan obat yang jauh lebih besar dibanding jumlah yang biasa terjadi pada interval dosis dengan bentuk sediaan biasa, berpotensial menimbulkan kadar plasma yang merugikan.

Berdasarkan kerja zat aktif, dikenal dua bentuk  pelepasan zat aktif sediaan oral:

· Pelepasan zat aktif sekaligus

Merupakan pelepasan zat aktif sekaligus, ketika bentuk sediaan oralnya hancur. Sehingga dalam waktu singkat segera mencapai waktu paruhnya (T1/2) untuk mendapatkan khasiatnya dan langsung dimetabolisme habis, sehingga obat oral ini harus di minum beberapa kali dalam sehari.

· Pelepasan zat aktif di perlambat

Merupakan suatu teknik atau rekayasa formulasi obat, sehingga obat oral ini cukup dimakan sekali sehari, karena zat aktifnya dilepas secara perlahan-lahan selama 24 jam. Rekayasa formulasi ini membuat pasien merasa praktis menggunakannya.

Ciri-ciri obat pelepasan diperlambat ini (long acting work), adalah pada nama dagangnya ditandai dengan nama tambahan, seperti OD (once a day),  CR (Controlled Release), SR (Slow Release).

Simulasi Farmakokinetik dari Produk Sustained – ReleaseProfil konsentrasi obat pada plasma dari beberapa produk sustained release secara oral yaitu model satu kompartemen dengan asumsi absorpsi dan eliminasi orde 1. Produk sustained release secara khas akan menunjukkan absorpsi yang kecil dengan kecepatan konstan. Waktu untuk puncak konsentrasi (tmax) biasanya panjang dan puncak konsentrasi obat (Cmax) mengalami penurunan. Jika obat diformulasikan dengan semestinya, area di bawah kurva konsentrasi obat pada plasma akan sama.Demikian pula, jika Cmax yang sangat tinggi, ini menandakan dumping dosis yang seharusnya tidak cukup formulasi. Analisis farmakokinetik dari data single dose dan multiple dose pada plasma telah digunakan untuk mengevaluasi beberapa produk sustained-release oleh agen pengatur. Analisis ini praktis dilakukan karena beberapa produk sustained-release cocok dengan model peristiwa ini walaupun obat tidak dilepaskan dalam atau berdasarkan orde 1(satu).Kadar obat pada plasma orde 1 dengan pengontrolan pelepasan produk obat yang disimulasi dengan persamaan DsCp = (1 – e-kt) VD kdi mana Ds = kecepatan pelepasan obat, mg/min; C­p = konsentrasi obat pada plasma; k = tetapan eliminasi secara keseluruhan; dan VD = volume distribusi. Dengan tidak adanya loading dose, kadar obat dalam tubuh akan meningkat secara lambat pada masa yang stabil dengan fluktuasi yang minimum.Ketika produk sustained-release dengan loading dose dan orde 0 yang mempertahankan pemberian dosis, hasil konsentrasi obat pada plasma dapat digambarkanDika DsCp = (e-kt – e-kat) + (1 – e-kt)VD (ka-k) kVDdi mana Di = loading dose dan Ds = dosis yang ada (orde 0). Hal ini jelas bahwa pernyataan ini merupakan persamaan jumlah absorpsi secara oral (bagian 1) dan persamaan infus i.v (bagian 2).Pada produk sustained-release, obat diberikan lebih dari 1 dosis sekali pakai dan hal ini tidak terjadi dalam pemberian bentuk sediaan biasa.

Mekanisme Pelepasan

Peristiwa pelepasan obat atau zat aktif dari polimer dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu difusi, degradasi dan penggembungan ( swelling ) yang diikuti dengan difusi. Difusi terjadi ketika sebuah obat atau zat aktif mengalir melalui pori – pori yang terdapat pada matrix polimer atau melalui ruang antara rantai – rantai polimer. Ukuran pori di dalam matrix polimer yang seragam serta ketebalan matrix yang tidak berubah menyebabkan proses pelepasan obat berjalan konstan sepanjang periode tertentu. Pelepasan zat aktif juga dapat terjadi ketika rantai – rantai polimer mengalami penggembungan akibat kondisi tubuh yang berubah karena terjadinya perubahan pH, suhu, enzim atau stimulus – stimulus yang lain. Setelah rantai – rantai polimer menggembung maka zat aktif akan dengan mudah berdifusi dan setelah stimulusnya berkurang atau hilang akibat penyakitnya sudah disembuhkan maka rantai – rantai polimer akan kembali lagi ke konfigurasi awal dengan tidak mengeluarkan zat aktif kembali. Hal ini akan menghilangkan kemungkinan terjadinya overdosis obat. Setelah melepaskan semua zat aktif yang dikandungnya maka matrix polimer akan mengalami degradasi sebagai hasil dari hidrolisis rantai – rantai polimer menjadi molekul – molekul kecil yang dapat diterima oleh sistem tubuh kita. Polyactides, polyglycolides dan kopolimernya akhirnya akan terurai menjadi lactic acid dan glycolic acid yang kemudian akan masuk ke dalam siklus Kreb’s dan akan dilepaskan sebagai karbon dioksida dan air.
Poyorthoesters mengalami mekanisme degradasi yang berbeda, polimer ini akan terdegradasi pada permukaannya saja dengan meninggalkan bagian inti yang banyak mengandung zat aktif.

Daftar Pustaka:

Anonim, 2008, Pahami Aturan Memakai Obat  Anda, http://diskusisehat.wordpress.com/2008/10/24/pahami-aturan-memakai-obat-anda/, diakses tanggal 19 Maret 2009

Dhean, 2007, Time Delayed, http://dheandoank.blogspot.com/, diakses tanggal 18 Maret 2009

Didin, 2007, Polimer Pengontrol Sistem Drug Delivery (Published in Kompas), http://nbudiman.blogspot.com/2007/09/polimer-pengontrol-sistem-drug-delivery.html, diakses tanggal 18 Maret 2009

Ringoringo, V.S., Ketersediaan Hayati Sediaan Pelepasan Lambat, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_KetersediaanHayatiSediaanPelepasan.pdf/09_KetersediaanHayatiSediaanPelepasan.html, diakses tanggal 19 Maret 2009

Qauliyah, A., 2006, Jangan Ragu Mengonsumsi Obat Generik, http://astaqauliyah.com/2006/05/08/jangan-ragu-mengonsumsi-obat-generik/, diakses tanggal 18 Maret 2009

Antonia Vita Herlinawati 05 8114 101

Imelda Christiyanti 05 8114 102

Oktavia Dhina 05 8114 117

Maret 2009

OBAT ASMA TEOFILIN

Tujuan pengobatan anti penyakit asma adalah membebaskan penderita dari serangan penyakit asma. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengobati serangan penyakit asma yang sedang terjadi atau mencegah serangan penyakit asma jangan sampai terjadi. Mengobati disini bukan berarti menyembuhkan penyakitnya, melainkan menghilangkan gejala-gejala yang berupa sesak, batuk, atau mengi. Keadaan yang sudah bebas gejala penyakit asma ini selanjutnya harus dipertahankan agar serangan penyakit asma jangan datang kembali.

Obat-obatan bisa membuat penderita penyakit asma menjalani kehidupan normal. Pengobatan segera untuk mengendalikan serangan penyakit asma berbeda dengan pengobatan rutin untuk mencegah serangan penyakit asma. Untuk mengobati serangan penyakit asma yang sedang terjadi diperlukan obat yang menghilangkan gejala penyakit asma dengan segera. Obat tersebut terdiri atas golongan bronkodilator dan golongan kortikosteroid sistemik.

Bronkodilator artinya obat yang dapat melebarkan saluran napas dengan jalan melemaskan otot-otot saluran napas yang sedang mengkerut, sedangkan kortikosteroid adalah obat antialergi dan anti peradangan yang diberikan dengan tujuan sistemik yaitu disalurkan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Ada sekelompok penderita yang begitu sering mendapat serangan sehingga hampir tidak pernah mengalami masa bebas gejala penyakit asma. Keadaaan ini disebut kronis yang dapat berlangsung berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Pengobatannya memerlukan jangka waktu yang lama dan penderita tiap hari harus memakai obat.

Agonis Reseptor Beta-2 Adrenergik

Merupakan obat terbaik untuk mengurangi serangan penyakit asma yang terjadi secara tiba-tiba dan untuk mencegah serangan yang mungkin dipicu oleh olahraga. Bronkodilator ini merangsang pelebaran saluran udara oleh reseptor beta-adrenergik. Bronkodilator yang bekerja pada semua reseptor beta-2 adrenergik (misalnya adrenalin), menyebabkan efek samping berupa denyut jantung yang cepat, gelisah, sakit kepala dan tremor (gemetar) otot.

Bronkodilator yang hanya bekerja pada reseptor beta-2 adrenergik (yang terutama ditemukan di dalam sel-sel di paru-paru), hanya memiliki sedikit efek samping terhadap organ lainnya. Bronkodilator ini (misalnya albuterol), menyebabkan lebih sedikit efek samping dibandingkan dengan bronkodilator yang bekerja pada semua reseptor beta-2 adrenergik. Sebagian besar bronkodilator bekerja dalam beberapa menit, tetapi efeknya hanya berlangsung selama 4-6 jam. Bronkodilator yang lebih baru memiliki efek yang lebih panjang, tetapi karena mula kerjanya lebih lambat, maka obat ini lebih banyak digunakan untuk mencegah serangan.

Bronkodilator tersedia dalam bentuk tablet, suntikan atau inhaler (obat yang dihirup) dan sangat efektif. Penghirupan bronkodilator akan mengendapkan obat langsung di dalam saluran udara, sehingga mula kerjanya cepat, tetapi tidak dapat menjangkau saluran udara yang mengalami penyumbatan berat.

Bronkodilator per-oral (ditelan) dan suntikan dapat menjangkau daerah tersebut, tetapi memiliki efek samping dan mula kerjanya cenderung lebih lambat. Jenis bronkodilator lainnya adalah teofilin. Teofilin biasanya diberikan per-oral (ditelan); tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet dan sirup short-acting sampai kapsul dan tablet long-acting.

Pada serangan penyakit asma yang berat, bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh darah). Jumlah teofilin di dalam darah bisa diukur di laboratorium dan harus dipantau secara ketat, karena jumlah yang terlalu sedikit tidak akan memberikan efek, sedangkan jumlah yang terlalu banyak bisa menyebabkan irama jantung abnormal atau kejang.

Pada saat pertama kali mengkonsumsi teofilin, penderita bisa merasakan sedikit mual atau gelisah. Kedua efek samping tersebut, biasanya hilang saat tubuh dapat menyesuaikan diri dengan obat. Pada dosis yang lebih besar, penderita bisa merasakan denyut jantung yang cepat atau palpitasi (jantung berdebar). Juga bisa terjadi insomnia (sulit tidur), agitasi (kecemasan, ketakuatan), muntah, dan kejang.

Pengobatan Untuk Serangan Penyakit Asma Akut

Suatu serangan penyakit asma harus mendapatkan pengobatan sesegera mungkin untuk membuka saluran pernafasan. Obat yang digunakan untuk mencegah juga digunakan untuk mengobati penyakit asma, tetapi dalam dosis yang lebih tinggi atau dalam bentuk yang berbeda.

Agonis reseptor beta-2 adrenergik digunakan dalam bentuk inhaler (obat hirup) atau sebagai nebulizer (untuk sesak nafas yang sangat berat). Nebulizer mengarahkan udara atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat, sehingga menghasilkan kabut untuk dihirup oleh penderita. Pengobatan penyakit asma juga bisa dilakukan dengan memberikan suntikan epinefrin atau terbutalin di bawah kulit dan aminofilin (sejenis teofilin) melalui infus intravena.

Penderita yang mengalami serangan hebat dan tidak menunjukkan perbaikan terhadap pengobatan lainnya, bisa mendapatkan suntikan kortikosteroid, biasanya secara intravena (melalui pembuluh darah). Pada serangan penyakit asma yang berat biasanya kadar oksigen darahnya rendah, sehingga diberikan tambahan oksigen. Jika terjadi dehidrasi, mungkin perlu diberikan cairan intravena. Jika diduga terjadi infeksi, diberikan antibiotik.

Selama suatu serangan penyakit asma yang berat, dilakukan:

  • pemeriksaan kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah
  • pemeriksaan fungsi paru-paru (biasanya dengan spirometer atau peak flow meter)
  • pemeriksaan rontgen dada.

Pengobatan Penyakit Asma Jangka Panjang

Salah satu pengobatan penyakit asma yang paling efektif adalah inhaler yang mengandung agonis reseptor beta-2 adrenergik. Penggunaan inhaler yang berlebihan bisa menyebabkan terjadinya gangguan irama jantung. Jika pemakaian inhaler bronkodilator sebanyak 2-4 kali/hari selama 1 bulan tidak mampu mengurangi gejala, bisa ditambahkan inhaler kortikosteroid, cromolin atau pengubah leukotrien. Jika gejalanya menetap, terutama pada malam hari, juga bisa ditambahkan teofilin per-oral.

Daftar pustaka

Anonim, 2006, Pengobatan penyakit asma, http://www.medicastore.com, diakses tanggal 18 Maret 2009